Kepergian Paus Fransiskus pada usia 88 tahun meninggalkan duka mendalam bagi umat Katolik dunia. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang berupaya memperluas ruang bagi perempuan dalam Gereja, meskipun tetap dalam kerangka ajarannya. Warisan kepemimpinannya yang inklusif dan humanis akan selalu dikenang.
Berikut lima gerakan penting Paus Fransiskus yang menunjukkan komitmennya terhadap kesetaraan perempuan:
1. Penunjukan Perempuan di Posisi Tinggi di Vatikan
Paus Fransiskus menunjuk Suster Raffaella Petrini sebagai Presiden Komisi Kepausan untuk Negara Kota Vatikan dan Presiden Kegubernuran Negara Kota Vatikan pada tahun 2025. Ini menandai sejarah, sebagai wanita pertama yang memegang posisi kepemimpinan tertinggi dalam struktur administratif Vatikan.
Selain itu, beliau juga aktif mengangkat perempuan ke posisi strategis lainnya, contohnya pengangkatan Sr. Nathalie Becquart sebagai Wakil Sekretaris Sinode Para Uskup pada 2021. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen nyata untuk memberikan kesempatan yang lebih setara bagi perempuan dalam struktur Gereja.
2. Kesetaraan Kesempatan bagi Perempuan
Dalam prakata buku “More Women’s Leadership for a Better World”, Paus Fransiskus menyerukan kesetaraan kesempatan bagi perempuan. Beliau menekankan bahwa “Saya pikir jika perempuan bisa menikmati kesetaraan kesempatan penuh, mereka dapat berkontribusi secara substansial menuju perubahan yang diperlukan demi mencapai dunia perdamaian, inklusi, setia kawan, dan berkelanjutan secara integral”.
Pernyataan ini mencerminkan pandangan Paus bahwa kontribusi perempuan sangat penting untuk membangun dunia yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan upaya beliau dalam mendorong partisipasi aktif perempuan dalam berbagai aspek kehidupan Gereja dan masyarakat.
3. Peran Penting Perempuan dalam Gereja
Paus Fransiskus mengakui bahwa Gereja memperoleh manfaat dari penghargaan terhadap perempuan. Dalam pidato penutupan Sinode Para Uskup Wilayah Pan-Amazon pada Oktober 2019, beliau menyatakan: “Kita belum memahami apa arti perempuan di Gereja, dan kita membatasi diri kita hanya pada aspek fungsional. Namun, peran perempuan di Gereja jauh melampaui fungsionalitas. Dan lebih banyak pekerjaan harus terus dilakukan untuk hal ini”.
Beliau menegaskan bahwa kontribusi perempuan tidak bisa diabaikan dalam membangun Gereja yang lebih inklusif dan adil. Hal ini menjadi sebuah pengakuan penting akan peran perempuan yang selama ini mungkin belum sepenuhnya tergali dan dihargai.
4. Mengutuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Paus Fransiskus secara tegas mengutuk kekerasan terhadap perempuan sebagai “luka terbuka yang diakibatkan oleh budaya penindasan yang patriarki dan macho”. Beliau melihat kesenjangan dan prasangka terhadap perempuan sebagai akar masalah ini.
Seruannya untuk mencari solusi dan tidak membiarkan perempuan sendirian dalam menghadapi kekerasan menunjukkan kepedulian beliau terhadap isu-isu yang dialami oleh perempuan dan komitmen untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil.
5. Menolak Mutilasi Alat Kelamin Perempuan dan Istilah “Perempuan Sekali Pakai”
Paus Fransiskus dengan tegas menolak praktik mutilasi alat kelamin perempuan, menyebutnya sebagai “kejahatan”. Beliau mempertanyakan bagaimana praktik mengerikan ini masih terjadi di dunia modern.
Selain itu, beliau menolak istilah “perempuan sekali pakai” dan menegaskan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan belum tercapai secara universal. Beliau menekankan bahwa masih ada kasus di mana perempuan dianggap sebagai kelas dua atau lebih rendah. Pernyataan ini menunjukkan penolakan beliau terhadap segala bentuk diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan.
Secara keseluruhan, warisan Paus Fransiskus dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan akan tetap menjadi inspirasi bagi umat Katolik dan dunia dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Upaya-upaya beliau dalam mengangkat perempuan ke posisi kepemimpinan, menyerukan kesetaraan kesempatan, dan mengutuk kekerasan terhadap perempuan merupakan kontribusi penting bagi perjuangan kesetaraan gender.