Komisi Nasional Disabilitas (KND) RI secara resmi telah mengajukan usulan penghapusan istilah “sekolah inklusif” kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Usulan ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa label “inklusif” justru menghambat terwujudnya pendidikan yang benar-benar inklusif bagi anak penyandang disabilitas.
Wakil Ketua KND, Deka Kurniawan, menjelaskan bahwa advokasi yang dilakukan KND kepada Kemendikbudristek berfokus pada perubahan paradigma. Konsep inklusi, menurutnya, bukan sekadar label yang disematkan pada sekolah tertentu, melainkan sebuah filosofi dan nilai yang harus diimplementasikan di seluruh lembaga pendidikan.
“Dalam banyak pandangan dan memang sudah terbentuk sejak lama bahwa inklusi ini adalah label,” tegas Deka dalam Festival Peduli Autisme 2025 di Sekolah Tunas Global, Depok, Jawa Barat. “Ini adalah sekolah inklusi, ada sekolah reguler. Nah kalau sekolah itu dilabel inklusi justru jadi nggak inklusi. Jadi inklusi adalah filosofi nilai bukan sekolah inklusif.”
KND menekankan bahwa sekolah tidak perlu mencantumkan label “inklusif” untuk menjalankan prinsip-prinsip inklusi. Yang penting adalah penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam praktik pendidikan sehari-hari, mencakup semua anak, termasuk anak-anak penyandang disabilitas.
Lebih lanjut, Deka menjelaskan bahwa semua sekolah, baik di bawah Kemendikbudristek maupun Kementerian Agama, harus mampu memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak autis dan penyandang disabilitas lainnya. Tidak ada alasan untuk menolak penerimaan anak-anak ini di sekolah.
Hak Pendidikan, Bukan Kedermawanan
Deka menekankan pentingnya beralih dari paradigma “charity base” ke “right base”. Paradigma “charity base” memandang penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan, sehingga layanan pendidikan seringkali menjadi tindakan filantropi, bukan hak.
Hal ini dapat berakibat pada diskriminasi, di mana anak-anak penyandang disabilitas, seperti anak autis, diperlakukan secara berbeda dan bahkan dianggap tidak perlu bersekolah. Paradigma ini mengabaikan hak dasar mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara.
Sebaliknya, paradigma “right base” menegaskan bahwa semua anak, termasuk anak penyandang disabilitas, memiliki hak untuk mengenyam pendidikan. Kewajiban untuk menyediakan pendidikan ini melekat pada negara, terlepas dari ketersediaan anggaran atau sumber daya manusia.
Implementasi Inklusi yang Efektif
Meskipun menekankan hak pendidikan semua anak, KND juga menyadari pentingnya mempertimbangkan kesiapan anak secara individual. Bukan berarti anak autis dilarang bersekolah, namun perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk memulai pendidikan formal, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan masing-masing anak.
Sekolah perlu menyediakan dukungan dan adaptasi yang dibutuhkan untuk memastikan pendidikan yang efektif bagi anak-anak penyandang disabilitas. Hal ini dapat berupa modifikasi kurikulum, fasilitas aksesibilitas, dan pelatihan guru.
Kesiapan ini perlu dikaji secara ilmiah dan komprehensif, bukan berdasarkan asumsi atau prasangka. Tujuannya adalah agar anak-anak tersebut dapat bersekolah di lingkungan yang mendukung perkembangan dan potensi mereka secara optimal.
Kesimpulan
Usulan KND untuk menghapus istilah “sekolah inklusif” merupakan langkah strategis untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif. Fokusnya beralih dari sekedar pemberian label ke implementasi prinsip-prinsip inklusi dalam praktik pendidikan sehari-hari, yang mengakui dan menghormati hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Perubahan paradigma dari “charity base” ke “right base” sangat krusial dalam upaya mewujudkan kesetaraan akses pendidikan bagi anak penyandang disabilitas. Ketersediaan sumber daya dan dukungan dari berbagai pihak sangat penting untuk mensukseskan implementasi pendidikan inklusif yang sesungguhnya.