Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (23/4/2025) menyatakan kesiapannya untuk menurunkan tarif tinggi terhadap barang-barang China. Namun, keputusan final masih bergantung pada hasil negosiasi dengan pihak China. Pengumuman angka tarif baru diperkirakan akan disampaikan dalam beberapa pekan ke depan.
“Itu tergantung pada mereka. Kami memiliki situasi, di mana kami memiliki tempat yang sangat, sangat bagus. Itu disebut Amerika Serikat, dan telah ditipu selama bertahun-tahun,” ungkap Trump kepada wartawan di Gedung Putih.
Trump optimistis dapat mencapai kesepakatan dengan Presiden Xi Jinping. Ia menambahkan bahwa jika kesepakatan tidak tercapai, pemerintahannya akan menentukan tarif sepihak. Pernyataan terpisah menyebutkan negosiasi masih aktif, dengan keputusan final mungkin keluar dalam dua hingga tiga minggu.
Pernyataan Trump disambut positif oleh pasar saham. Indeks S&P 500 naik 1,67 persen dan Nasdaq menguat 2,50 persen, melanjutkan tren positif sehari sebelumnya. Lonjakan ini juga dipicu pernyataan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang menilai perang dagang saat ini tidak berkelanjutan.
1. Menteri Keuangan dan Wall Street Journal (WSJ) Mendukung Pemangkasan Tarif
Bessent memperkirakan kuartal III-2025 sebagai waktu yang realistis untuk menentukan besaran akhir tarif. Ia berpendapat tarif tinggi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan utang global.
Laporan WSJ pada Rabu (23/4) menyebutkan pemerintah Trump mempertimbangkan pemangkasan tarif hingga 50-60 persen untuk meredakan ketegangan. Sumber internal Gedung Putih mengkonfirmasi pembahasan pemangkasan tarif terbuka, tetapi AS tidak akan bertindak sepihak tanpa langkah timbal balik dari China.
Meskipun China masih mengenakan 125 tarif atas produk AS, juru bicara Gedung Putih menyebut spekulasi media sebagai isu liar. Hanya Trump yang berwenang mengumumkan kebijakan resmi tarif.
Trump sendiri menegaskan, “Kami akan punya kesepakatan yang adil dengan China,” tanpa menyebut angka pasti. Pembicaraan antara kedua negara masih berlanjut.
2. China Menolak Tekanan dan Siap Melawan
China menyatakan kesiapan untuk berdialog, tetapi menolak tekanan dan intimidasi dari AS. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menegaskan negaranya tidak mencari perang dagang.
“Kami tidak mencari perang, tapi juga tidak takut. Kami akan bertarung jika harus bertarung,” tegas Guo.
Ia menekankan pintu dialog tetap terbuka, tetapi AS harus menghentikan ancaman sebagai taktik negosiasi. Pendekatan yang adil dan saling menghormati diperlukan. China juga menyatakan proteksionisme tarif bertentangan dengan prinsip perdagangan internasional.
Posisi ini menegaskan pendirian China di tengah tekanan dari Washington. Meskipun Trump menuntut penyesuaian tarif, China menginginkan pendekatan yang seimbang. Kedua pihak belum mencapai titik temu konkret.
3. Gugatan 12 Negara Bagian Menantang Kewenangan Trump
Dua belas negara bagian AS menggugat kebijakan tarif Trump ke Pengadilan Perdagangan Internasional. Gugatan tersebut menuduh Trump menciptakan kekacauan ekonomi dan menyalahgunakan kekuasaannya tanpa persetujuan Kongres.
Mereka meminta pengadilan membatalkan kebijakan dan melarang penegakannya. Negara bagian tersebut menuding Trump bertindak sewenang-wenang dengan dalih darurat ekonomi, mengatakan kebijakan tersebut lebih mencerminkan kehendak pribadi presiden.
Negara bagian yang menggugat antara lain Arizona, Colorado, Connecticut, Illinois, New York, dan Vermont. Jaksa Agung Arizona, Kris Mayes, menyebut tarif buatan Trump sebagai kebijakan yang gila.
“Arizona tidak bisa menanggung kenaikan pajak besar dari Presiden Trump. Tarif adalah pajak, dan akan dibebankan pada konsumen,” katanya. Kebijakan tersebut dianggap merugikan ekonomi dan melanggar hukum.
Situasi negosiasi perdagangan antara AS dan China masih dinamis dan penuh ketidakpastian. Baik AS maupun China memiliki kepentingan yang berbeda dan strategi yang kompleks dalam menghadapi perselisihan ini. Hasil akhir negosiasi akan berdampak besar pada perekonomian global.