Reaktivasi jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari, sepanjang 11,2 kilometer, kembali menjadi perbincangan hangat. Usai rapat koordinasi antara Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Perhubungan serta PT Kereta Api Indonesia (KAI), jalur bersejarah ini masuk prioritas pengembangan transportasi Jawa Barat. Namun, rencana ini menyimpan kompleksitas sejarah dan sosial yang perlu dipertimbangkan secara matang.
Sejarah Jalur Kereta Api Rancaekek-Tanjungsari
Jalur ini dirancang pada masa kolonial Belanda, hasil diskusi pada 24 Maret 1869 antara Menteri Kolonial Belanda de Waal, Kepala Eksploitasi Staatsspoorwegen J.A. Kool, dan profesor teknik Delft, N.H. Henket. Rencana umum perkeretaapian 20 September 1869 menetapkan jalur ini sebagai bagian strategi pengembangan wilayah, mendukung distribusi hasil perkebunan Jatinangor dan pertahanan militer di Sumedang.
Setelah proses hukum melalui Staatblad 4 Januari 1916, pembangunan dimulai tahun 1917 dan beroperasi 13 Februari 1921. Rencana perpanjangan hingga Citali gagal akibat krisis ekonomi pasca Perang Dunia I dan Depresi Besar. Sisa konstruksi seperti pondasi jembatan Tunggul Hideung menjadi saksi bisu kegagalan tersebut.
Kejayaan jalur ini berakhir tahun 1942 ketika pendudukan Jepang. Kebijakan pembongkaran rel untuk kepentingan perang menyebabkan jalur dinonaktifkan. Tenaga kerja romusha dikerahkan untuk membongkar jalur yang dianggap tidak vital oleh militer Jepang.
Warisan Fisik yang Tersisa
Meskipun dinonaktifkan, sejumlah infrastruktur masih bertahan dan menjadi ikon Jatinangor dan Sumedang. Contohnya Jembatan Cincin Cikuda, Viaduk Jatinangor, dan bangunan Stasiun Tanjungsari. Jembatan Cincin, dibangun dengan beton karena harga baja melambung akibat perang, kini menjadi landmark yang mengingatkan masa lalu.
Namun, sebagian besar jalur rel telah hilang, tergantikan bangunan permanen seperti rumah, sekolah, masjid, dan kantor kepolisian. Ini menunjukkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi dalam rencana reaktivasi.
Kota Tumbuh di Atas Rel yang Mati
Gagasan reaktivasi bukan hal baru. Pada 2018, Gubernur Ridwan Kamil juga sempat mengumumkannya bersama rencana reaktivasi jalur Cikudapateuh–Ciwidey dan Banjar–Cijulang. Namun, realisasinya terhambat oleh perkembangan permukiman dan infrastruktur di atas trase lama.
Kini, ribuan bangunan berdiri di atas trase rel, dari Kampung Babakan Nanjung hingga Tanjungsari. Bahkan, kantor Polsek Jatinangor berada tepat di atas jalur rel lama. Stasiun Tanjungsari kini menjadi kantor Persatuan Purnawirawan ABRI dan taman kanak-kanak.
Konflik Agraria dan Tantangan Sosial
Persoalan agraria menjadi tantangan besar. Warga seperti Engkos Koswara di Kampung Babakan Nanjung telah menempati lahan bekas rel sejak 1996, bahkan ada yang sejak 1965. Mereka menempati lahan dengan hak garap dan sempat membayar sewa, namun kini tak ada kejelasan status hukum tanah tersebut.
Diperkirakan ada sekitar 200 rumah warga yang berdiri di atas jalur rel tersebut. Tanpa pendekatan dialogis dan kompensasi yang adil, reaktivasi berpotensi memicu konflik sosial yang signifikan. Pemerintah perlu mempertimbangkan hal ini dengan sangat serius.
Potensi dan Risiko Reaktivasi
Jalur Rancaekek–Tanjungsari memiliki nilai strategis. Jalur ini melintasi Jatinangor, kawasan pendidikan tinggi dengan kampus besar seperti Universitas Padjadjaran, ITB Kampus Jatinangor, IPDN, dan IKOPIN University. Reaktivasi jalur ini akan meningkatkan efisiensi mobilitas, mengurangi kemacetan, dan menawarkan transportasi massal yang ramah lingkungan.
Namun, membangun rel baru di atas kota yang telah tumbuh di atasnya merupakan tantangan besar, membutuhkan perencanaan yang sangat detail, anggaran yang besar, dan negosiasi yang intensif dengan warga yang terdampak. Apakah akan dibangun jalur baru di sampingnya, atau jalur lama direlokasi membutuhkan studi kelayakan yang komprehensif.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Reaktivasi
Reaktivasi jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari menyimpan potensi besar, namun juga risiko yang tak kalah besar. Suksesnya proyek ini bergantung pada perencanaan matang, penanganan masalah agraria yang adil, dan partisipasi aktif masyarakat. Ini bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi juga soal keadilan sosial dan pelestarian sejarah.
Pemerintah perlu melibatkan para ahli perencanaan kota, ahli hukum agraria, dan sosiolog untuk memastikan proses reaktivasi berjalan lancar dan minim konflik. Transparansi dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat sangat krusial untuk keberhasilan proyek ini.