Berita  

Polisi Pacitan Dipecat Kasus Dugaan Pemerkosaan Tahanan Ajukan Banding

Mediakabar.com | Portal Berita Terfaktual

Aiptu LC, anggota Polres Pacitan, Jawa Timur, yang dipecat karena terlibat kasus dugaan pelecehan seksual terhadap seorang tahanan perempuan, telah mengajukan banding atas putusan pemecatannya. Keputusan banding ini disampaikan Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Jules Abraham Abast, setelah LC menerima sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dalam sidang kode etik profesi Polri.

Jules menjelaskan bahwa setelah putusan PTDH, LC diberikan kesempatan untuk mengajukan banding, dan ia memilih untuk menggunakan hak tersebut. Pengajuan banding ini akan dipertimbangkan oleh penyidik dan Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jatim. Proses banding ini menunjukkan adanya mekanisme hukum internal yang memungkinkan anggota Polri yang merasa dirugikan untuk mengajukan upaya hukum.

Meskipun demikian, Kapolda Jatim Irjen Nanang Avianto dan jajarannya tetap menegaskan komitmen terhadap penindakan tegas terhadap anggota yang melanggar hukum. “Yang jelas tindakan tegas akan diberikan sanksi tegas terhadap yang bersangkutan, dan ini sudah menjadi komitmen dari kami semua khususnya atensi dari bapak Kapolda Jatim untuk memberikan sanksi tegas terhadap setiap perbuatan hukum yang dilakukan anggota Polri khususnya anggota Polda Jatim,” ujar Jules.

Kasus ini bermula dari penetapan Aiptu LC sebagai tersangka dugaan pelecehan seksual dan pencabulan terhadap seorang tahanan perempuan. Dugaan pelecehan seksual dan pencabulan, bahkan pemerkosaan, dilakukan sebanyak empat kali di ruang berjemur wanita Rutan Mapolres Pacitan, selama Maret-April 2025. Tindakan ini tentu sangat melanggar etika profesi dan hukum yang berlaku.

Atas perbuatannya, Aiptu LC dijerat dengan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Selain itu, ia juga dijatuhi sanksi pemecatan berdasarkan Pasal 13 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian anggota kepolisian Negara Republik Indonesia. Beberapa pasal lain dalam Peraturan Kepolisian Negara (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian juga menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi.

Analisis Kasus dan Implikasinya

Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan internal di lingkungan kepolisian untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik. Proses hukum yang sedang berjalan, termasuk pengajuan banding oleh Aiptu LC, akan menjadi momentum untuk memastikan keadilan ditegakkan dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual dalam institusi Polri.

Perlu ditekankan bahwa tindakan pelecehan seksual, khususnya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap individu yang berada di bawah kekuasaannya, merupakan tindakan yang sangat serius dan tidak dapat ditoleransi. Korban dalam kasus ini, seorang tahanan perempuan, berada dalam posisi yang rentan dan seharusnya mendapatkan perlindungan maksimal dari aparat penegak hukum, bukan malah menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh oknum tersebut.

Kejadian ini juga menggarisbawahi pentingnya pelatihan dan pendidikan bagi anggota kepolisian dalam hal penegakan hukum, penghormatan hak asasi manusia, dan pencegahan kekerasan seksual. Pentingnya reformasi internal Polri agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa mendatang. Transparansi dalam proses hukum juga harus dijaga untuk memastikan kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

Pertimbangan Banding dan Harapan Ke Depan

Proses banding yang diajukan Aiptu LC perlu dilihat sebagai bagian dari proses hukum yang sah. Namun, harapannya, proses ini berjalan transparan dan adil, serta tidak menghambat proses penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual. Polda Jatim diharapkan tetap konsisten dalam menegakkan hukum dan memberikan sanksi yang tegas, tanpa memandang siapa pelakunya. Kepastian hukum harus menjadi prioritas utama.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh anggota kepolisian untuk senantiasa menjunjung tinggi hukum, etika profesi, dan hak asasi manusia. Semoga kasus ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen dalam membangun institusi Polri yang lebih profesional, akuntabel, dan terpercaya di mata masyarakat. Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual juga harus menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum di Indonesia.

Kesimpulannya, kasus ini merupakan cerminan perlunya reformasi berkelanjutan di tubuh Polri, dengan fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan sistem pengawasan internal yang efektif, dan komitmen yang kuat dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Keadilan bagi korban harus tetap diutamakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *