Polda Jawa Barat memperpanjang masa tahanan Priguna Anugerah Pratama, dokter Pendidikan Profesi Dokter Spesialis (PPDS) yang diduga melakukan pemerkosaan terhadap seorang pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Perpanjangan ini dilakukan karena penyidikan belum lengkap, khususnya menunggu hasil pemeriksaan psikologi forensik yang hingga kini belum keluar. Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, menyatakan hal tersebut pada Selasa (22/4).
“Kita perpanjangan penahanan,” ujar Kombes Pol Surawan singkat. Proses penyidikan masih berlangsung, dan pemeriksaan psikologi forensik bukan satu-satunya proses yang harus dilewati. Oleh karena itu, perpanjangan penahanan dinilai perlu untuk melengkapi berkas perkara.
Priguna Anugerah Pratama telah ditahan sejak 23 Maret 2025 setelah dilaporkan oleh keluarga korban. Ia diduga melakukan pemerkosaan terhadap korban pada tiga kesempatan berbeda: 10 Maret, 13 Maret, dan 18 Maret 2025. Kasus ini menimbulkan keprihatinan besar dan memicu diskusi luas mengenai pengawasan dan etika profesi dokter, khususnya di lingkungan pendidikan kedokteran.
Kronologi Kejadian Menurut Polisi
Menurut Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, peristiwa bermula saat korban, FH, mendampingi ayahnya yang membutuhkan transfusi darah di RSHS Bandung. Pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 00.30 WIB, Priguna membawa korban ke ruangan di lantai 7 Gedung MCHC RSHS Bandung.
Korban diminta untuk berganti pakaian operasi dan kemudian diberi suntikan bius oleh tersangka. Setelah tak sadarkan diri, korban baru terbangun sekitar pukul 04.00 WIB dan kembali ke IGD. Rasa sakit di alat vitalnya saat buang air kecil membuat korban curiga dan menceritakan kejadian kepada ibunya.
Keluarga korban merasa ada kejanggalan dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian. Setelah penyelidikan mendalam, Priguna Anugerah Pratama akhirnya ditangkap pada 23 Maret 2025. Polisi saat ini tengah fokus mengumpulkan seluruh bukti dan keterangan untuk memperkuat berkas perkara.
Tanggapan Publik dan Evaluasi Sistem
Kasus ini memicu reaksi keras dari masyarakat dan menimbulkan pertanyaan tentang sistem pengawasan dan pendidikan di lingkungan Rumah Sakit dan Pendidikan Kedokteran. Banyak pihak mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap sistem PPDS untuk mencegah kejadian serupa terulang.
Kementerian Kesehatan juga telah menyatakan akan melakukan perbaikan serius terhadap sistem PPDS di rumah sakit. Evaluasi ini meliputi berbagai aspek, termasuk pengawasan, pelatihan etika profesi, dan mekanisme pelaporan serta penanganan kasus pelecehan seksual. Hasil investigasi dan evaluasi ini diharapkan dapat meningkatkan keamanan pasien dan integritas profesi kedokteran.
Selain itu, muncul diskusi publik mengenai pentingnya dukungan bagi korban pelecehan seksual dan pentingnya akses yang mudah bagi korban untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Dukungan psikologis dan hukum bagi korban menjadi bagian penting dalam proses pemulihan dan penegakan hukum.
Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya pengawasan yang ketat dan mekanisme pelaporan yang efektif dalam dunia kedokteran untuk melindungi pasien dan menjaga integritas profesi. Semoga kasus ini dapat menjadi momentum perubahan positif dalam sistem pendidikan dan praktik kedokteran di Indonesia.
“(Tersangka) Meminta korban untuk tidak ditemani oleh adiknya,” ungkap Hendra, di Polda Jabar, Rabu (9/4).
Berita terkait kasus ini telah memicu seruan untuk reformasi sistem PPDS dan peningkatan pengawasan terhadap perilaku dokter. Pemerintah dan institusi terkait harus memastikan bahwa lingkungan rumah sakit aman dan terbebas dari tindakan kekerasan seksual. Perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci utama dalam mencegah kejadian serupa di masa depan.