Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad Tito Karnavian, mengajak akademisi aktif mengevaluasi sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. Ajakan ini disampaikan saat menjadi narasumber pelantikan pengurus dan halalbihalal DPP IKA UII di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (25/4/2025).
1. Sorotan Mendagri terhadap Pelaksanaan Pilkada
Mendagri menyoroti Pilkada serentak 27 November 2024. Walau umumnya lancar, beberapa daerah menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU), berdampak pada pemerintahan lokal.
Beliau menekankan pentingnya partisipasi akademisi dalam kajian perbaikan sistem Pilkada. “UII dengan banyak pemikirnya bisa membuat kajian juga, yang juga bisa menjadi masukan buat kami pemerintah, dan juga kepada DPR sebagai pembuat undang-undang, karena kemungkinan bisa merevisi undang-undang tentang Pilkada,” kata Tito.
Partisipasi akademisi sangat krusial karena mereka dapat memberikan analisis objektif dan rekomendasi kebijakan yang berbasis data dan riset. Hal ini akan membantu pemerintah dan DPR dalam mengambil keputusan yang tepat dan terukur untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pilkada ke depannya.
2. Pilkada Langsung: Demokrasi dan Tantangannya
Tito menegaskan Pilkada langsung sebagai wujud nyata demokrasi, memberi masyarakat hak memilih pemimpin. Namun, ia mengakui adanya tantangan, terutama biaya politik tinggi dan potensi konflik.
“Setiap sistem punya kelebihan dan kekurangan. Yang penting, kita bisa mengevaluasi secara objektif agar demokrasi kita tetap sehat, adil, dan akuntabel,” tegasnya. Evaluasi menyeluruh dan komprehensif sangat dibutuhkan untuk meminimalisir dampak negatif dari pelaksanaan Pilkada.
Beberapa hal yang perlu dievaluasi antara lain regulasi yang mengatur Pilkada, mekanisme pengawasan, serta peran lembaga penyelenggara Pilkada. Dengan evaluasi yang cermat, diharapkan sistem Pilkada dapat terus diperbaiki untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
3. Pilkada: Menciptakan Kesempatan Kepemimpinan
Mendagri menambahkan, Pilkada membuka peluang bagi siapapun menjadi pemimpin, bukan hanya kalangan elit. Sistem ini memungkinkan munculnya pemimpin baru yang sebelumnya tak punya kesempatan.
Namun, perlu diperhatikan agar sistem ini tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang justru akan merusak kualitas demokrasi. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas untuk mencegah kecurangan dan pelanggaran dalam proses Pilkada.
Penting untuk diingat bahwa keberhasilan Pilkada tidak hanya bergantung pada sistem yang baik, tetapi juga pada kesadaran dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, partai politik, dan media massa.
Kesimpulan: Mendagri mendorong kolaborasi pemerintah dan akademisi untuk mengevaluasi sistem Pilkada, mencari solusi atas tantangan yang ada, dan memastikan Pilkada tetap menjadi sarana yang efektif dan demokratis dalam memilih pemimpin daerah di Indonesia. Kajian akademik yang mendalam akan menjadi masukan berharga bagi perbaikan sistem Pilkada di masa mendatang.