Tingginya angka perceraian di Indonesia menjadi perhatian serius, bahkan disebut sebagai ancaman bagi keutuhan bangsa. Menteri Agama, Nasaruddin Umar, mengungkapkan keprihatinannya terhadap tren ini yang dinilai mirip dengan negara-negara Barat.
Dalam konferensi pers Rakernas BP4 di Jakarta, 21 April 2025, Menag Nasaruddin Umar menyatakan, “Sekarang ini ada sebuah ancaman yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Tingginya angka perceraian.” Pernyataan ini menekankan urgensi penanganan masalah ini.
Ancaman Perceraian terhadap Keutuhan Bangsa
Menag melihat adanya pergeseran paradigma dalam memandang pernikahan. Pandangan Barat yang menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang merepotkan, mulai mempengaruhi masyarakat Indonesia. “Jadi ini ada fenomena barat yang orang menganggap perkawinan itu merepotkan. Ini yang berkembang dalam dunia barat,” ujar Nasaruddin.
Data yang disampaikan Menag cukup mengkhawatirkan. Angka perceraian di Indonesia mencapai 33 persen dari jumlah pernikahan setiap tahunnya. “120 ribu orang yang kawin dan 32 persen di antara itu cerai. Sementara angka perkawinannya itu juga sudah semakin menurun,” paparnya. Ini menunjukkan penurunan angka pernikahan dan peningkatan angka perceraian secara signifikan.
Kondisi ini berdampak pada berkurangnya jumlah rumah tangga utuh. “Ini satu ancaman. Di dalam Al-Quran ayat-ayat itu lebih banyak berbicara tentang keutuhan rumah tangga. Bukan berbicara tentang negara. Ayat yang berbicara tentang negara tidak sampai 10 persen. Hanya 5 persen. Tapi Al-Walusiya itu 90 persen,” jelasnya. Ayat-ayat Al-Quran lebih banyak menekankan pentingnya keutuhan rumah tangga dibanding urusan negara.
Penyebab Perceraian dan Dampaknya
Menag Nasaruddin Umar menegaskan perlunya langkah konkret untuk mengatasi masalah ini karena tidak mungkin terbentuk masyarakat dan negara yang ideal tanpa rumah tangga yang kuat. Ia menyoroti peran Badan Pembinaan Perkawinan (BP4) yang menurutnya kurang mendapatkan dukungan dari pemerintah.
Ia mengungkapkan beberapa penyebab perceraian yang mengejutkan, antara lain: perbedaan politik, pindah agama, masalah ekonomi, hingga penyalahgunaan narkoba. “Ada sekitar 500 perceraian hanya karena perbedaan politik,” ucap Nasaruddin. Angka perceraian akibat murtad pun mencapai 3.000 kasus. Data ini menunjukkan kompleksitas masalah perceraian di Indonesia.
Dampak sosial perceraian juga sangat memprihatinkan. Kemiskinan dan anak-anak terlantar menjadi konsekuensi yang sering terjadi. “Kalau terjadi perceraian akan muncul dua orang miskin baru yang namanya perempuan dan anak-anak.” Banyak anak-anak bermasalah di lembaga rehabilitasi berasal dari keluarga broken home akibat egoisme orang tua.
Solusi dan Rekomendasi
Menag Nasaruddin Umar menyarankan beberapa solusi. Pertama, BP4 perlu didukung untuk mengusulkan Undang-Undang Kerukunan Rumah Tangga, karena Undang-Undang Perkawinan yang ada dinilai kurang cukup. Kedua, Ia mengajak semua pihak, termasuk media dan hakim agama, untuk ikut serta menjaga keutuhan rumah tangga.
Ia juga mengkritisi gaya hidup modern yang meniru Barat, dengan contoh, “Lebih suka memelihara anjing daripada memelihara anak.” Pernyataan ini menggambarkan keprihatinan terhadap perubahan nilai-nilai sosial di masyarakat.
Sebagai langkah konkret, Menag menyarankan agar BP4 diberi wewenang untuk memberikan rekomendasi sebelum hakim memutuskan perkara perceraian. “BP4 di sini kita sudah siap orang. Pusatnya di kantornya di Istiqlal, ya kan. Jangan bercerai, kasian anak-anakmu.” Hal ini diharapkan dapat mengurangi angka perceraian dan melindungi kepentingan anak.
Kesimpulannya, masalah perceraian di Indonesia merupakan isu serius yang membutuhkan penanganan komprehensif. Perlu kerjasama berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga keagamaan, dan masyarakat, untuk mengatasi akar permasalahan dan melindungi keutuhan keluarga.