Seorang guru besar Universitas Pertahanan, Kolonel Sus Prof Dr. Drs Mhd Halkis MH, mengajukan gugatan materiil terhadap Undang-Undang TNI tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2025. Gugatan ini diajukan saat revisi UU TNI masih dibahas.
Sidang perdana gugatan tersebut dijadwalkan pada Jumat, 25 April 2025. Ketua Centra Initiative, Al Araf, membenarkan hal ini. “Kalau saya tidak salah, pada Jumat tanggal 25 esok dismissal process akan diajukan di Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Al Araf.
1. Gugatan Materiil dan Potensi Kemunduran Demokrasi
Gugatan Kolonel Halkis mencakup empat poin utama: pertama, prajurit TNI aktif boleh dipilih dalam pemilu; kedua, prajurit TNI aktif memiliki hak politik untuk memilih; ketiga, militer boleh berbisnis; dan keempat, prajurit aktif boleh menduduki jabatan sipil.
Larangan-larangan tersebut juga tercantum dalam UU TNI yang baru disahkan pada 20 Maret 2025. Al Araf khawatir jika gugatan dikabulkan, demokrasi Indonesia akan mengalami kemunduran. “Bila MK mengabulkan gugatan ini, Indonesia jelas akan mengalami kemunduran karena militer bisa berbisnis dan terjun ke politik,” tegasnya.
Sidang perdana akan menentukan apakah gugatan diterima atau ditolak. Jika diterima, proses sidang berlanjut ke tahap pembuktian. Masyarakat sipil juga turut aktif dalam mengawasi proses ini, dengan beberapa pihak yang telah mengajukan diri sebagai pihak terkait.
Berdasarkan pengecekan situs resmi MK, sidang pemeriksaan pendahuluan pertama dijadwalkan pada pukul 13.30 WIB, Jumat, 25 April 2025.
2. Alasan Gugatan: Ketimpangan Ekonomi dan Pembatasan Karier
Kolonel Halkis menggugat Pasal 39 ayat (3) UU TNI yang melarang prajurit berbisnis. Ia berpendapat pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tentang hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan layak.
Ia mencontohkan Amerika Serikat dan Jerman yang mengizinkan prajurit berbisnis dengan pengawasan yang ketat. Halkis mempertanyakan mengapa Indonesia melarang hal tersebut, sementara kesejahteraan prajurit masih kurang memadai. “Prajurit juga mengalami ketimpangan ekonomi akibat larangan ini, terutama pascapensiun,” ujarnya.
Selain itu, Pasal 47 ayat (2) UU TNI lama juga digugat. Pasal ini membatasi jabatan sipil bagi prajurit aktif hanya pada 10 instansi tertentu. Halkis berpendapat pembatasan ini tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Banyak jabatan sipil yang memerlukan keahlian teknokratis dari prajurit TNI, seperti di Kementerian Pendidikan atau Kementerian Luar Negeri, namun aturan ini membatasi kesempatan bagi mereka yang memiliki kompetensi di luar sepuluh instansi tersebut,” jelas Halkis.
3. Potensi Dampak Pengabulan Gugatan
Jika MK mengabulkan gugatan, beberapa perubahan signifikan dapat terjadi. Konsep profesionalisme militer akan lebih jelas dan berbasis konstitusi serta keadilan. Hak ekonomi prajurit akan lebih fleksibel, dengan sistem pengawasan ketat atau jaminan kesejahteraan yang lebih baik dari negara.
Prajurit TNI juga akan memiliki kesempatan karier yang lebih luas, termasuk menduduki jabatan sipil berdasarkan kompetensi. Reformasi UU TNI melalui putusan MK diharapkan dapat menjadi preseden penting bagi reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
Kesimpulannya, gugatan ini memiliki implikasi besar terhadap sistem pertahanan dan demokrasi Indonesia. Hasil sidang perdana dan proses selanjutnya akan sangat menentukan arah reformasi di tubuh TNI dan hubungan sipil-militer di masa mendatang.