Dunia berduka atas wafatnya Paus Fransiskus pada usia 88 tahun di kediamannya, Casa Santa Marta, Vatikan. Kepergian pemimpin spiritual bagi lebih dari 1,4 miliar umat Katolik ini terjadi sehari setelah beliau menyapa ribuan umat di Lapangan Santo Petrus dengan ucapan “Selamat Paskah”. Berita ini menyebar dengan cepat dan menyisakan kesedihan mendalam di seluruh dunia.
Paus Fransiskus bukan sekadar pemimpin agama, tetapi juga tokoh berpengaruh di panggung global. Pengaruhnya yang besar terlihat jelas dari antusiasme massa yang luar biasa saat kunjungan pastoralnya ke berbagai negara. Di Timor-Leste, hampir separuh penduduknya menghadiri misa yang dipimpinnya. Di Jakarta, puluhan ribu umat Katolik memadati Stadion Gelora Bung Karno untuk mengikuti Misa Akbar yang sama.
Kehadirannya di berbagai negara menarik perhatian jutaan orang. Di Kinshasa, Republik Demokratik Kongo, lebih dari satu juta orang berkumpul di bawah terik matahari untuk menghadiri misa di bandara. Jumlah peserta yang sangat besar ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Paus Fransiskus dan Gereja Katolik di dunia.
Peran Paus Fransiskus dalam Politik Global
Sebagai kepala negara Kota Vatikan dan pemimpin Takhta Suci, Paus Fransiskus memiliki posisi yang unik dalam hukum internasional. Vatikan diakui sebagai entitas berdaulat dan menjalin hubungan diplomatik dengan banyak negara, termasuk Indonesia. Hal ini menjadikan Vatikan sebagai aktor penting dalam politik global.
Takhta Suci memiliki kursi tetap di PBB, meskipun bukan anggota penuh. Kehadiran ini memberikan Vatikan akses ke rapat-rapat penting dan memungkinkan mereka untuk menyuarakan pandangan moral Gereja dalam isu-isu dunia. Pengaruh ini terlihat jelas dalam beberapa peristiwa penting.
Diplomasi dan Pengaruh Vatikan
Sebelum kesepakatan iklim Paris 2015, Paus Fransiskus mengecam “ketidakpedulian yang sombong” negara-negara yang mengutamakan bisnis daripada bumi. Pernyataan ini berdampak signifikan, memperkuat dukungan dari negara-negara Global South. Namun, Vatikan juga menunjukkan sisi konservatifnya, seperti saat memblokir diskusi soal hak-hak perempuan di KTT Iklim PBB 2024.
Vatikan, bersama beberapa negara lain, menolak referensi terhadap kelompok transgender dalam teks kesepakatan. Meskipun menuai kritik, hal ini menunjukkan kekuatan Vatikan dalam membentuk kesepakatan global. Contoh lain dari diplomasi efektif Paus adalah peran pentingnya dalam menormalisasi hubungan AS dan Kuba pada 2014, meskipun kesepakatan tersebut kemudian dibatalkan.
Pengaruh Gereja Katolik terhadap Demokrasi Global
Menurut Prof. David Hollenbach dari Berkley Center for Religion, Peace and World Affairs, kontribusi terbesar Gereja Katolik dalam 25 tahun terakhir bukanlah diplomasi, melainkan pengaruhnya terhadap transisi demokrasi global. Hal ini berakar pada Konsili Vatikan II di era 1960-an, yang mendorong komitmen kuat pada hak asasi manusia dan kebebasan beragama.
Samuel Huntington mencatat bahwa selama masa Paus Yohanes Paulus II hingga awal kepemimpinan Fransiskus, tiga perempat negara yang bertransisi dari rezim otoriter ke demokrasi adalah negara dengan pengaruh Katolik yang kuat. Peran Gereja dalam transisi demokrasi di berbagai negara, seperti Spanyol, Portugal, Amerika Latin, Filipina, dan Korea Selatan, menjadi bukti nyata pengaruhnya terhadap arah sejarah dunia.
Tantangan dan Kritik terhadap Gereja Katolik
Namun, Vatikan tidak selalu berhasil memengaruhi para pemimpin dunia. Contohnya, ketika Wakil Presiden AS, JD Vance, menggunakan teologi untuk membenarkan kebijakan imigrasi yang keras, Paus Fransiskus menulis surat yang keras, menyatakan bahwa Yesus sendiri adalah seorang pengungsi. Tanggapan pejabat imigrasi veteran AS, Tom Homan, menunjukkan adanya perbedaan pandangan: “Paus seharusnya memperbaiki Gereja Katolik.”
Di Eropa, pengaruh sosial Gereja Katolik memudar. Sikap konservatif terhadap isu-isu seperti hak LGBT+, kontrasepsi, dan aborsi dianggap tidak relevan di abad ke-21. Paus Fransiskus juga dikritik karena tidak membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi imam atau diakon. Di Amerika Latin, pengaruhnya melemah dengan perubahan sikap terhadap aborsi di beberapa negara.
Skandal pelecehan seksual yang terus terungkap dan peran Gereja dalam menutupinya telah merusak kepercayaan publik secara global. Namun, terlepas dari tantangan ini, pengaruh Paus sebagai pemimpin spiritual dan politik tetaplah luar biasa. Tindakan-tindakannya, seperti mengunjungi para migran di kamp pengungsian, terus menyentuh isu-isu kemanusiaan paling mendesak.
Kesimpulannya, Paus Fransiskus meninggalkan warisan yang kompleks dan berdampak besar pada dunia. Pengaruhnya meluas dari ajaran spiritual hingga politik global, membentuk sejarah dan memicu perdebatan tentang peran agama dalam dunia modern. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kritik, warisan Paus Fransiskus akan terus dikaji dan dibahas selama bertahun-tahun mendatang.