Kembalinya Jurusan SMA: Tekanan Politik Lebih Kuat Daripada Landasan Akademik

Mediakabar.com | Portal Berita Terfaktual

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berencana mengembalikan sistem penjurusan di SMA ke format lama (IPA/IPS/Bahasa), setelah sebelumnya ditiadakan dalam Kurikulum Merdeka. Keputusan ini menuai beragam reaksi, terutama mengingat Kurikulum Merdeka baru diterapkan satu tahun ajaran.

Agustina Kustulasari, peneliti kebijakan pendidikan, memberikan pandangannya terkait perubahan ini dari dua perspektif. Secara administrasi, ia menilai keputusan tersebut kurang bijak. Efektivitas Kurikulum Merdeka yang baru diterapkan belum terukur, sehingga belum ada evaluasi atau asesmen yang memadai untuk mendukung perubahan kebijakan ini. “Jadi alasan atau urgensi untuk perubahan kurikulum itu menjadi tidak kuat ya, tidak kuat. Tidak ada landasan kuat untuk mengubah kebijakan karena yang kemarin belum dievaluasi,” tegasnya.

Namun, dari perspektif politis, perubahan kebijakan bisa dilakukan kapan saja jika dianggap perlu. “Perlu itu dalam arti perlu secara politis, perlu secara apapun argumentasi yang mau digunakan,” jelas Ari, sapaan akrab Agustina Kustulasari, pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menambahkan, “Sehingga kalau ditanya apakah ini tepat waktu atau *too premature*, ya tinggal persepsi mana argumen mana yang mau kita gunakan.”

Dampak Perubahan Penjurusan: Antara Administrasi dan Perubahan Nyata

Kembalinya sistem penjurusan lama akan berdampak pada berbagai aspek di sekolah. Perubahan administrasi akan terjadi secara menyeluruh, mulai dari perubahan rapor hingga penganggaran dan pelaporan. “Istilahnya rapor aja tuh langsung berubah ya. Jadi ada perubahan dari yang besar, seperti penganggaran, maupun kecil-kecil seperti bentuk pelaporan dan lain sebagainya itu,” ujar Ari.

Ari menekankan, dampak administratif seharusnya tidak menjadi alasan untuk menolak kebijakan yang baik. Kecuali jika dampak administratifnya terlalu mahal dan tidak *cost effective*. “I’m not saying bahwa kebijakan ini baik ya. Sekali lagi bahwa kalau kita melihat sebuah kebijakan itu baik, dampak administrasi itu tidak semestinya dijadikan alasan untuk menolak kebijakan itu karena bagaimanapun apa pun kebijakannya selalu ada dampak administrasinya,” jelasnya.

Namun, Ari juga mempertanyakan dampak nyata perubahan kebijakan pendidikan secara umum. Ia mempertanyakan apakah kebijakan yang diterapkan selama bertahun-tahun lebih berdampak dibandingkan kebijakan yang baru diterapkan 1-2 tahun. “When we talk about actual change, itu sebenarnya bahkan kita bisa merefleksikan ya, selama ini perubahan apa pun dalam kebijakan pendidikan kita sudahkah berdampak signifikan?” tanyanya.

Menurutnya, durasi penerapan suatu kebijakan bukanlah tolak ukur dampak nyata. Konsep *loose-coupling* dalam organisasi pendidikan juga perlu dipertimbangkan. “Institusi pendidikan itu *loosely-coupled organization*. Artinya apa? Salah satu, salah satunya ini bisa diartikan begini, apa yang terjadi di dalam kelas itu bisa jadi *it happens in vacuum*,” jelasnya.

Artinya, pengaruh kebijakan di luar kelas belum tentu berdampak pada kualitas pengajaran di dalam kelas. “Sehingga banyak perubahan yang dilakukan ya, dari mulai peningkatan kesejahteraan guru seperti sertifikasi guru maupun pelatihan-pelatihan dan lain sebagainya, itu tetap saja tidak berdampak pada kualitas pendidikan di dalam kelas, kualitas pengajaran di dalam kelas,” papar Ari.

Sebaliknya, jika kualitas pengajaran di kelas sudah baik, kebijakan eksternal mungkin tidak akan banyak berpengaruh. “On the other hand, kalau kerja di dalam kelas itu baik, bisa jadi juga apa pun kebijakan di luar sana apapun mekanisme, apa pun pendekatan yang dilakukan di luar sana itu bisa jadi tidak cukup mempengaruhi apa yang sebenarnya terjadi di dalam kelas.” Kesimpulannya, menentukan dampak perubahan kebijakan ini bergantung pada perspektif dan argumen yang digunakan.

Perubahan sistem penjurusan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang evaluasi kebijakan pendidikan di Indonesia. Apakah perubahan yang cepat ini sesuai kebutuhan, atau lebih didorong oleh faktor-faktor lain di luar ranah pendidikan itu sendiri? Perlu kajian lebih mendalam untuk menilai efektivitas kebijakan pendidikan jangka panjang, dan tidak hanya berfokus pada perubahan administratif semata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *