Pemerintah Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menyoroti sejumlah kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) yang dinilai menghambat perdagangan bilateral. Hal ini tertuang dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis Maret 2025. Laporan tersebut, yang dikeluarkan oleh United State Trade Representative (USTR), mencatat berbagai hambatan perdagangan dari 59 negara, termasuk Indonesia. Keluhan AS ini muncul jelang pengumuman kebijakan tarif impor resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump.
Salah satu poin utama yang disoroti USTR adalah sistem pembayaran Indonesia. Secara spesifik, USTR mengkritik Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code (QRIS). USTR menyatakan keprihatinan perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, karena kurangnya konsultasi internasional dalam pembuatan kebijakan QRIS. “Perusahaan-perusahaan AS…khawatir selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang perubahan yang mungkin terjadi atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka mengenai sistem tersebut,” tulis USTR.
Selain QRIS, USTR juga menyoroti Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020 yang mengimplementasikan Cetak Biru Sistem Pembayaran BI 2025. Peraturan ini menerapkan kategorisasi berbasis risiko untuk kegiatan sistem pembayaran dan sistem perizinan, termasuk batasan kepemilikan asing. Operator layanan pembayaran nonbank (perusahaan pembayaran *front-end*) dibatasi kepemilikan asingnya hingga 85%, namun hanya 49% saham dengan hak suara. Sementara itu, operator infrastruktur sistem pembayaran (*back-end*) dibatasi hingga 20% kepemilikan asing. USTR mencatat kekhawatiran para pemangku kepentingan atas kurangnya konsultasi BI sebelum penerbitan peraturan ini.
Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) juga menjadi sorotan. Peraturan BI No. 19/8/PBI/2017 mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui GPN, yang berlokasi di Indonesia dan berizin BI. Hal ini membatasi kepemilikan asing pada perusahaan *switching* GPN hingga 20%, mencegah penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik. Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 juga mewajibkan perusahaan asing bermitra dengan *switch* GPN Indonesia, dengan syarat dukungan pengembangan industri dalam negeri dan transfer teknologi. Kebijakan BI Mei 2023 yang mewajibkan penggunaan GPN untuk kartu kredit pemerintah juga menimbulkan kekhawatiran perusahaan pembayaran AS akan pembatasan akses opsi pembayaran elektronik AS.
Di luar sistem pembayaran, USTR juga menyinggung Peraturan OJK (POJK) No. 56/03/2016 yang membatasi kepemilikan bank hingga 40% oleh satu pemegang saham, baik asing maupun domestik. BI juga membatasi kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta hingga 49% (Surat Edaran BI No. 15/49/DPKL) dan di perusahaan pembayaran hingga 20% (Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016), dengan pengecualian investasi yang sudah ada melebihi batas tersebut. Kebijakan-kebijakan ini, menurut USTR, berpotensi menghambat investasi dan perdagangan AS di Indonesia.
Dampak dan Negosiasi
Permasalahan sistem pembayaran seperti QRIS dan GPN menjadi bahasan utama dalam negosiasi tarif resiprokal antara Indonesia dan AS. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah telah berkoordinasi dengan BI dan OJK terkait masukan dari pihak AS. “Juga termasuk di dalamnya sektor keuangan. Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan *payment* yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga.
Meskipun demikian, Airlangga belum merinci langkah-langkah yang akan diambil pemerintah bersama BI dan OJK. Selain sektor keuangan, negosiasi juga mencakup perizinan impor melalui Online Single Submission (OSS), insentif perpajakan dan kepabeanan, serta kuota impor. Tujuan utama negosiasi adalah mencapai kesepakatan perdagangan yang adil dan seimbang antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Analisis Lebih Dalam
Perlu dikaji lebih lanjut apakah kebijakan-kebijakan tersebut memang benar-benar menghambat perdagangan, atau hanya menciptakan ketidakpastian bagi investor asing. Pertimbangan aspek keamanan siber dan perlindungan konsumen juga perlu dipertimbangkan dalam konteks regulasi sistem pembayaran. Adanya transparansi dan keterlibatan pihak terkait, termasuk pelaku usaha asing, dalam proses pembuatan kebijakan sangat krusial untuk menghindari kesalahpahaman dan konflik perdagangan.
Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan keseimbangan antara melindungi industri dalam negeri dan mendorong investasi asing. Strategi komunikasi yang efektif sangat penting untuk menjelaskan tujuan dan manfaat kebijakan-kebijakan tersebut kepada pihak asing. Membangun dialog yang konstruktif dengan AS untuk mengatasi kekhawatiran mereka juga menjadi langkah penting untuk menjaga hubungan perdagangan bilateral yang sehat dan saling menguntungkan.
Ke depan, perlu adanya kajian komprehensif untuk mengevaluasi dampak dari regulasi-regulasi yang ada terhadap iklim investasi dan perdagangan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dibuat tidak hanya melindungi kepentingan domestik, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.