Kehati-hatian dan sensitivitas menjadi kunci utama bagi jurnalis dalam pemberitaan yang melibatkan anak-anak. Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menekankan larangan penyebutan identitas korban kejahatan susila dan anak pelaku kejahatan. Namun, pedoman pemberitaan ramah anak yang lebih rinci menjelaskan bahwa hal ini mencakup pula identitas korban dan saksi.
Ahli Pers Dewan Pers, Nurcholis MA Basyari, menjelaskan bahwa “segala hal informasi ataupun semacamnya yang dapat dijadikan pijakan untuk akhirnya terungkap untuk menelusuri hingga terungkap jati diri si anak itu” harus disembunyikan. Ini termasuk detail yang sekilas terlihat sepele, namun dapat mengarah pada pengungkapan identitas anak. Direktur Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) ini menekankan pentingnya perlindungan identitas anak dalam pemberitaan.
Sensitivitas Wartawan dalam Memberitakan Anak-Anak
Rinda Aunillah Sirait, Kepala Laboratorium Newsroom Universitas Padjadjaran (Unpad), menambahkan pentingnya empati jurnalistik dalam memberitakan anak-anak. Anak-anak, sebagai pihak yang “voiceless,” membutuhkan perlindungan ekstra karena belum memiliki kematangan psikologis dan hukum seperti orang dewasa. Mereka perlu dilindungi di ruang publik.
Pers memiliki peran krusial dalam melindungi anak-anak, terutama dalam kasus anak berkonflik dengan hukum. Seringkali, pemberitaan mengenai anak dalam kasus hukum lupa mempertimbangkan aspek kepekaan dan perlindungan identitas anak. Penggunaan teknik penyamaran identitas, seperti blur atau inisial, harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan komprehensif.
Bahkan dalam era media sosial, penyamarana identitas harus efektif. Meskipun menggunakan inisial, informasi tambahan yang diberikan dapat memudahkan publik melacak identitas anak. Oleh karena itu, disiplin penyamaran identitas harus diutamakan oleh pers untuk melindungi anak-anak dari potensi bahaya.
Pemberitaan Positif Anak-Anak: Mendapatkan Persetujuan
Memberitakan prestasi anak pun membutuhkan kehati-hatian. Jurnalis harus menyadari bahwa anak-anak belum sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatannya. Peran orang tua atau wali sangat penting dalam hal ini. Persetujuan (consent) dari wali atau orang tua mutlak diperlukan sebelum melakukan wawancara atau publikasi foto anak.
Rinda menyarankan jurnalis untuk selalu meminta persetujuan dari wali anak sebelum melakukan wawancara atau mempublikasikan foto atau informasi tentang anak tersebut. Meskipun guru dapat dianggap sebagai wali dalam konteks tertentu, hubungan anak dengan guru tidak selalu sedekat dengan keluarganya. Pedoman Peliputan dan Pemberitaan Anak (Aliansi Jurnalis Indonesia-UNICEF) dapat menjadi rujukan yang baik.
Penggunaan foto juga memerlukan pertimbangan. Foto dari area publik saat anak sedang berpartisipasi dalam kegiatan penghargaan lebih aman daripada foto personal yang diambil khusus untuk media. Jurnalis harus selalu memastikan mendapatkan consent dan menghindari bujukan atau iming-iming jika anak menolak difoto. Yang terpenting adalah menghormati hak anak untuk tidak diekspos.
Krisis dalam Pers: Platypus Journalism dan Wartawan Jale
Munculnya fenomena “platypus journalism” (jurnalis serba bisa) dan “wartawan jale” (wartawan amplop) merupakan dampak dari industrialisasi pers. Tekanan untuk menghasilkan beragam konten (video, foto, audio) untuk berbagai platform menyebabkan wartawan harus bekerja ekstra keras, bahkan melanggar etik jurnalistik.
Kondisi ini berdampak negatif pada kesejahteraan jurnalis, terutama kontributor. Tuntutan produktivitas yang tinggi seringkali menyebabkan pelanggaran etik, seperti kerjasama wartawan untuk berbagi tugas liputan atau bahkan pelanggaran firewall. Pergeseran platform dan model bisnis media memperburuk situasi ini.
Kesimpulannya, pemberitaan yang melibatkan anak-anak membutuhkan sensitivitas, kehati-hatian, dan pemahaman mendalam terhadap aspek hukum dan psikologis anak. Pers memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi anak-anak, dan pedoman pemberitaan ramah anak perlu dijadikan pedoman utama dalam praktik jurnalistik. Permasalahan seperti platypus journalism juga menunjukkan perlunya perbaikan kondisi kerja jurnalis untuk mencegah pelanggaran etik.