Presiden Prabowo Subianto menanggapi optimistis pembatalan investasi pengembangan baterai kendaraan listrik (EV) oleh konsorsium Korea Selatan yang dipimpin LG Energy Solution. Ia menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia akan menarik investasi dari negara lain untuk mengisi kekosongan tersebut. Pernyataan ini disampaikan usai pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Prabowo menekankan kekuatan dan potensi Indonesia sebagai daya tarik investasi. Meskipun singkat, pernyataannya, “Indonesia besar, Indonesia kuat, Indonesia cerah,” menunjukkan kepercayaan dirinya terhadap daya saing Indonesia di kancah investasi global. Namun, ia belum memberikan detail mengenai calon investor pengganti LG dan rencana tindak lanjut pengembangan industri baterai EV di Indonesia.
Sebelumnya, berita dari Yonhap menyebutkan konsorsium LG menarik diri dari proyek senilai 11 triliun won (sekitar Rp 130 triliun). Konsorsium tersebut melibatkan LG Energy Solution, LG Chem, LX International Corp, dan mitra BUMN Indonesia. Proyek ini mencakup seluruh rantai pasok, mulai dari pengadaan bahan baku hingga produksi sel baterai untuk mendukung ekosistem EV di Indonesia.
LG menyatakan keputusan penarikan investasi didasarkan pada pertimbangan kondisi pasar dan lingkungan investasi global. Namun, mereka menegaskan akan melanjutkan bisnis yang sudah ada di Indonesia, seperti pabrik baterai Hyundai LG Indonesia Green Power (HLI Green Power), usaha patungan dengan Hyundai Motor Group.
Direktur Celios, Bhima Yudhistira, menilai pembatalan investasi LG harus menjadi bahan evaluasi kebijakan industri Indonesia. Ia menyorot beberapa faktor penyebabnya, di antaranya inkonsistensi insentif fiskal pemerintah antara mobil listrik dan mobil hybrid. Kebijakan ini dinilai membingungkan investor terkait arah pengembangan industri otomotif di Indonesia, apakah fokus pada EV atau hybrid.
Selain itu, rencana pemerintah untuk melonggarkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di tengah negosiasi tarif dengan AS juga menjadi faktor penyebab. Produsen baterai merasa kecewa karena investasi besar yang telah direncanakan akan sia-sia jika syarat TKDN diubah. Terakhir, perkembangan teknologi baterai yang beralih dari ketergantungan nikel ke alternatif seperti LFP dan Sodium juga mempengaruhi keputusan LG.
Dengan banyaknya pilihan bahan baku baterai, produsen akan lebih fleksibel dalam memilih lokasi pembangunan pabrik. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk tetap menarik investasi di sektor baterai EV. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan industri dan insentif fiskal agar lebih konsisten dan menarik bagi investor asing.
Pembatalan investasi LG merupakan pukulan bagi rencana pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis untuk menarik investor lain dan memastikan keberlanjutan pengembangan industri baterai EV. Hal ini sangat penting untuk mencapai target elektrifikasi kendaraan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Ke depannya, transparansi dan konsistensi kebijakan pemerintah menjadi kunci untuk menarik investasi asing di sektor strategis seperti industri baterai EV. Pemerintah perlu memastikan kepastian hukum dan regulasi yang jelas agar investor merasa aman dan terlindungi investasinya. Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk akademisi dan pelaku industri, untuk mengembangkan teknologi dan inovasi di bidang baterai EV.
Gambar yang menyertai artikel ini menunjukkan booth LG Energy Solution di pameran InterBattery 2021 di Seoul, Korea Selatan, sebagai gambaran dari proyek yang batal terlaksana. Foto lain memperlihatkan baterai mobil listrik buatan LG-Hyundai, sebagai visualisasi dari teknologi yang seharusnya dikembangkan di Indonesia.
Kesimpulannya, peristiwa ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan dan strategi untuk menarik investasi di sektor baterai EV. Keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan industri ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menarik bagi investor global.