Stasiun Ciwidey, saksi bisu era kejayaan jalur kereta api di Jawa Barat bagian selatan, kini hanya tinggal kenangan. Jalur kereta yang menghubungkan Bandung dengan Ciwidey, merupakan warisan kolonial Belanda yang telah lama berhenti beroperasi. Namun, harapan akan kebangkitan kembali jalur bersejarah ini muncul seiring dengan rencana ambisius Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mereaktivasi 14 jalur kereta nonaktif di provinsi tersebut.
Di antara 14 jalur tersebut, reaktivasi jalur Bandung-Ciwidey menjadi salah satu yang paling menarik perhatian. Jalur ini memiliki nilai sejarah dan potensi wisata yang tinggi. Reaktivasi ini diharapkan mampu menghidupkan kembali perekonomian masyarakat di sekitar jalur kereta dan mengurangi kemacetan di jalur darat Bandung Selatan menuju Ciwidey.
Sejarah Jalur Kereta Bandung–Ciwidey: Jejak Staatsspoorwegen
Dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda, jalur kereta api Bandung–Ciwidey mulai dibangun pada tahun 1917 dan rampung pada tahun 1924. Membentang sepanjang kurang lebih 40 kilometer, jalur ini memiliki peran penting dalam mengangkut hasil bumi, terutama teh dan kopi, dari wilayah Bandung Selatan ke Stasiun Bandung, kemudian dilanjutkan ke Batavia dan pelabuhan ekspor.
Jalur kereta ini melewati beberapa wilayah, diantaranya Bandung, Cibangkonglor, Cibangkong, Bojongsoang, Dayeuhkolot, Banjaran, Soreang, dan Ciwidey. Bahkan terdapat jalur tambahan menuju Majalaya melalui Dayeuhkolot. Sepanjang perjalanannya, penumpang akan dimanjakan dengan pemandangan indah perkebunan teh, perbukitan hijau, dan jembatan-jembatan ikonik seperti Jembatan Sadu dan Cikabuyutan. Keindahan pemandangan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi jalur kereta ini.
Penutupan Jalur Bandung–Ciwidey: Berbagai Faktor Penyebab
Setelah beroperasi selama hampir enam dekade, jalur Bandung–Ciwidey ditutup pada awal tahun 1980-an. Penutupan ini bukan keputusan mendadak, melainkan hasil akumulasi berbagai faktor yang saling berkaitan.
Kecelakaan Kereta di Cukanghaur (1972): Titik Balik Keselamatan
Kecelakaan kereta barang yang anjlok di Cukanghaur pada tahun 1972 menjadi salah satu pemicu utama. Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan dan mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kondisi jalur dan biaya perawatan yang dibutuhkan.
Efisiensi Operasional dan Penurunan Pendapatan: Persaingan Moda Transportasi
Seiring berjalannya waktu, operasional kereta Bandung–Ciwidey menjadi kurang efisien. Penurunan jumlah penumpang dan barang angkut membuat biaya operasional jauh lebih besar daripada pendapatan yang dihasilkan. Jalur ini kalah bersaing dengan moda transportasi darat lainnya, seperti truk dan angkutan umum, yang menawarkan fleksibilitas lebih tinggi.
Perubahan Ekonomi dan Hilangnya Komoditas Andalan: Pergeseran Sektor Ekonomi
Pada awal abad ke-20, jalur ini dibangun untuk mendukung ekspor teh dan kopi. Namun, pada dekade 1970-an dan 1980-an, sektor perkebunan mulai mengalami penurunan. Komoditas andalan tersebut tidak lagi menjadi primadona ekspor, sehingga volume pengiriman barang melalui jalur kereta pun menurun drastis.
Persoalan Infrastruktur dan Perawatan: Tantangan Renovasi
Kondisi infrastruktur jalur kereta yang telah menua, termasuk jembatan dan rel yang membutuhkan renovasi besar, menjadi kendala. Biaya renovasi yang besar dinilai tidak ekonomis mengingat minimnya penggunaan jalur kereta. Selain itu, beberapa segmen jalur juga rawan longsor dan sulit dijangkau alat berat, sehingga perbaikan menjadi sangat sulit.
Konversi dan Alih Fungsi Lahan: Perubahan Tata Guna Lahan
Setelah penutupan, sebagian besar jalur kereta berubah fungsi. Banyak yang ditumbuhi semak belukar, bahkan ada yang telah menjadi pemukiman warga. Beberapa stasiun juga terbengkalai atau beralih fungsi.
Kecelakaan Tambahan: Lokomotif Ditabrak Truk di Cisandori
Kecelakaan tambahan yang melibatkan lokomotif pengangkut hasil bumi yang ditabrak truk di Cisandori semakin memperkuat alasan penutupan jalur kereta ini.
Potensi dan Rencana Reaktivasi: Membangun Kembali Jalur Legendaris
Lebih dari 40 tahun setelah penutupan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali melirik potensi jalur kereta Bandung–Ciwidey. Gubernur Dedi Mulyadi, melalui media sosial, menyatakan bahwa jalur ini masuk dalam daftar reaktivasi yang telah dibahas dengan Kementerian Perhubungan dan PT KAI.
Reaktivasi jalur ini didorong oleh beberapa potensi, antara lain: potensi wisata yang tinggi dengan pemandangan alam yang menawan, solusi mengatasi kemacetan di jalur Bandung Selatan-Ciwidey, pendorong pertumbuhan ekonomi desa dan kawasan agrowisata, serta mendukung pengembangan kawasan Soreang dan Bandung Selatan secara keseluruhan. Reaktivasi ini bagian dari rencana besar reaktivasi 14 jalur kereta api nonaktif di Jawa Barat.
Selain jalur Bandung-Ciwidey, beberapa jalur lain yang juga direncanakan untuk direaktivasi antara lain Banjar-Cijulang, Dayeuhkolot-Majalaya, Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari, Cibatu-Cikajang, Jatibarang-Indramayu, dan Karawang-Rengasdengklok. Kesuksesan proyek ini sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam merealisasikan rencana tersebut. Semoga rencana reaktivasi ini bukan hanya sekedar wacana, tetapi benar-benar terwujud dan membawa dampak positif bagi masyarakat Jawa Barat.
Perlu adanya kajian mendalam terkait dampak lingkungan dan sosial dari proyek ini. Misalnya, penanganan masalah lahan yang sudah terbangun di atas jalur kereta perlu direncanakan dengan matang agar tidak menimbulkan konflik sosial. Selain itu, perencanaan yang baik juga diperlukan untuk memastikan keberlanjutan operasional jalur kereta setelah direaktivasi, termasuk strategi untuk menarik minat masyarakat menggunakan moda transportasi kereta api.
Dengan perencanaan yang matang dan komprehensif, reaktivasi jalur kereta api Bandung-Ciwidey dapat menjadi contoh sukses revitalisasi infrastruktur yang berdampak positif bagi pariwisata, ekonomi, dan lingkungan di Jawa Barat.