Seorang pegawai honorer di DPRD Jakarta melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Pelaku diduga merupakan rekan kerjanya yang berstatus Tenaga Ahli (TA) di lembaga yang sama. Ironisnya, setelah melaporkan kejadian tersebut, korban justru dinonaktifkan dari pekerjaannya.
Koordinator Pendamping Korban mengungkapkan, “Korban baru satu kali gajian. Tapi setelah melapor, korban malah dinonaktifkan.” Pernyataan ini disampaikan saat ditemui di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2025). Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai perlindungan bagi korban pelecehan seksual di lingkungan kerja.
Korban telah berupaya melaporkan kejadian ini secara internal ke atasannya sebelum mengambil jalur hukum. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Laporan internal tersebut tidak ditindaklanjuti dengan serius.
Upaya Hukum dan Respon Lembaga
Korban bahkan telah melaporkan kejadian tersebut kepada Ketua DPRD Jakarta, namun tetap tidak mendapatkan solusi yang memadai. “Korban naik ke Ketua DPRD, nggak ada solusinya. Solusinya korban dipindah divisi. Tapi sampai sekarang juga belum ada kejelasan,” jelas Koordinator Pendamping Korban. Korban merasa tidak ada itikad baik dari pihak lembaga untuk menyelesaikan masalah ini. Keinginan korban hanya satu, yaitu duduk bersama untuk mengklarifikasi kejadian dan mencari kebenaran.
Lebih lanjut, korban juga mengaku telah melapor ke salah satu anggota dewan. Namun, alih-alih mendapatkan dukungan, korban justru merasa disudutkan. “Korban dimarahi. Dia justru diperlakukan seolah korban yang merusak rumah tangga pelaku. Padahal dia punya bukti kuat,” ungkap Koordinator Pendamping Korban. Perlakuan ini menunjukkan kurangnya pemahaman dan empati dari beberapa pihak di DPRD Jakarta terhadap kasus ini.
Meskipun mendapat dukungan moral dari rekan kerja yang mendorongnya untuk melanjutkan kasus ini, korban merasa tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari lembaga tempatnya bekerja. Hal ini menunjukkan kelemahan sistem perlindungan korban pelecehan seksual di lingkungan kerja tersebut.
Penyelidikan Kepolisian
Polda Metro Jaya telah menerima laporan dugaan pelecehan seksual ini dan saat ini sedang melakukan penyelidikan. Kasubbid Penmas Polda Metro Jaya, AKBP Reonald Simanjuntak, membenarkan adanya laporan tersebut. “Untuk (laporan dugaan pelecehan) yang honorer DPRD itu benar ada laporan itu,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (22/4).
Proses penyelidikan masih berlangsung. Pihak kepolisian masih mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan saksi. “Sedang didalami dan pengumpulan barang bukti, keterangan dan masih dalam tahap penyelidikan,” kata AKBP Reonald Simanjuntak. Proses hukum ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban dan mengungkap seluruh fakta yang terjadi.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan bagi korban pelecehan seksual di tempat kerja dan perlunya mekanisme pelaporan yang efektif dan responsif. Lembaga terkait perlu meningkatkan kesadaran dan pelatihan bagi para pegawai untuk mencegah dan menangani kasus serupa di masa mendatang. Harapannya, kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih peduli dan memberikan perlindungan bagi korban pelecehan seksual.
Kejadian ini juga mempertanyakan efektivitas mekanisme penanganan internal di DPRD Jakarta. Seharusnya, lembaga tersebut memiliki prosedur yang jelas dan efektif untuk menangani kasus pelecehan seksual dan memberikan perlindungan kepada korban. Kegagalan dalam hal ini menunjukkan perlunya evaluasi dan perbaikan sistem di DPRD Jakarta.