Generasi Z: Menuju Keibuan Masa Depan yang Berdaya

Mediakabar.com | Portal Berita Terfaktual

Tekanan untuk menjadi ibu yang sempurna semakin meningkat, terutama di era digital. Survei What to Expect menunjukkan peningkatan signifikan, 8 dari 10 ibu baru dan calon ibu menganggap kesempurnaan sebagai hal penting, naik 10 persen dari lima tahun lalu. Hal ini lebih terasa pada Gen Z, yang menaruh tekanan lebih besar pada diri sendiri untuk mencapai ideal tersebut.

Ibu Gen Z, yang berusia di bawah 27 tahun, mendefinisikan kesempurnaan dalam pengasuhan dengan cara yang berbeda. Mereka cenderung menekankan pada penyediaan berbagai aktivitas untuk anak, memastikan waktu bermain tanpa teknologi, dan manajemen jadwal keluarga yang ketat. Ini menunjukkan tuntutan tinggi yang mereka tempatkan pada diri sendiri dalam peran sebagai orang tua.

Meskipun survei menunjukkan 90 persen responden setuju menjadi ibu adalah hal yang sulit namun berharga, banyak perempuan muda mempersiapkan diri secara matang untuk menghadapi tantangan tersebut. Persiapan ini mencakup aspek fisik, mental, dan finansial, yang menunjukan kesadaran akan kompleksitas peran sebagai orangtua.

Namira Adzani, seorang kreator konten, menjadi contoh nyata dari perempuan yang memilih untuk menunda kehamilan sambil fokus mempersiapkan diri. Ia telah menikah selama 5 tahun dan memilih untuk memprioritaskan kesiapan mental dan finansial bersama pasangan sebelum memiliki anak. Keputusannya ini menunjukkan pilihan sadar untuk menangani tekanan sosial terkait memiliki anak.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Menunda Kehamilan

Banyak perempuan, termasuk di Indonesia, memilih menunda atau menghindari kehamilan. Data BPS menunjukkan 8,2 persen perempuan Indonesia berusia 15-49 tahun yang sudah menikah mengambil keputusan ini. Beberapa faktor yang melatarbelakangi meliputi:

  • Kekhawatiran atas stabilitas ekonomi: Kemampuan finansial yang memadai untuk membiayai kebutuhan anak menjadi pertimbangan utama.
  • Tekanan sosial: Harapan dan norma sosial terkait waktu yang tepat untuk memiliki anak dapat menimbulkan tekanan bagi beberapa perempuan.
  • Pertimbangan karier: Keinginan untuk mencapai tujuan karier tertentu sebelum memiliki anak juga menjadi alasan yang kuat.

Ketiga faktor tersebut saling terkait dan berpengaruh secara signifikan. Ketidakpastian ekonomi dapat memperburuk tekanan sosial dan membuat perempuan merasa ragu untuk memiliki anak sebelum mencapai stabilitas karier yang diinginkan.

Peran Dukungan Sosial dan Kesehatan Mental

Samanta Elsener, seorang psikolog keluarga, menjelaskan bahwa rasa takut atau ketidaksiapan menjadi ibu adalah hal yang wajar dan manusiawi. Ia menekankan pentingnya ruang untuk memproses perasaan tersebut tanpa penilaian. Ketakutan ini bukanlah pertanda kelemahan, melainkan refleksi dari kesadaran akan tanggung jawab besar yang akan dihadapi.

Samanta juga menjelaskan bahwa meskipun perempuan secara naluriah memiliki energi feminin untuk melindungi dan menyayangi anak, kesiapan emosional dan mental berbeda bagi setiap individu. Dukungan lingkungan sangat penting dalam proses ini. Lingkungan yang suportif dan empatik akan membantu perempuan merasa lebih percaya diri dan mampu dalam menghadapi tantangan menjadi orangtua.

Ibu hamil membutuhkan dukungan emosional yang kuat karena perubahan fisik dan hormonal yang dialami. Empati dan pemahaman dari lingkungan terdekat dapat mengurangi tekanan dan meningkatkan kesejahteraan mental selama kehamilan dan setelahnya. Lingkungan yang penuh kasih sayang dan pengertian sangat krusial untuk proses tersebut.

Kesimpulannya, tekanan untuk menjadi ibu yang sempurna merupakan isu kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk era digital, norma sosial, dan persiapan pribadi. Dukungan sosial, kesadaran akan kesehatan mental, dan realisme dalam menghadapi tantangan menjadi orangtua adalah kunci untuk membantu perempuan menghadapi tekanan tersebut dan membentuk lingkungan yang suportif bagi para ibu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *