Pemerintah Daerah (Pemda) Papua Barat Daya dan aparat keamanan secara tegas menolak gerakan separatis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Gerakan ini dinilai bertentangan dengan konstitusi dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serupa dengan upaya separatisme bersenjata yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, menyatakan penolakan keras terhadap aktivitas dan pernyataan NFRPB. Pernyataan Abraham Goram yang mengakui dirinya sebagai Staf Khusus NFRPB dan mengakui Negara Federal Republik Papua Barat dinilai sebagai tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. “Apa yang dilakukan Abraham Goram… merupakan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi,” tegas Burdam dalam pernyataan resminya, Jumat (25/4/2025).
Burdam mengapresiasi respon cepat Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) terhadap gerakan ini. Pernyataan Abraham Goram Gaman pada 14 April 2025 atas nama NFRPB dianggap sebagai upaya makar yang tidak dapat ditoleransi. Provinsi Papua Barat Daya, termasuk Raja Ampat, ditegaskan sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI.
Burdam mengajak seluruh masyarakat Kabupaten Raja Ampat untuk menjaga persatuan dan kesatuan, serta menolak upaya separatis yang mengancam stabilitas dan keamanan daerah. “Saya mengajak seluruh komponen masyarakat Kabupaten Raja Ampat wajib menjaga persatuan dan kesatuan, serta menolak setiap upaya separatis…,” tambahnya.
Danrem 181/PVT Brigjen TNI Totok Sutriono menyatakan dukungan penuh terhadap penegakan hukum terhadap NFRPB oleh Polri. “Jadi nanti akan dilihat dari segi hukumnya apakah mereka bersenjata ataupun makar, maka TNI siap mendukung Polri dalam melakukan penegakan hukum,” tegas Brigjen Totok. Hal ini menunjukkan komitmen kuat aparat keamanan untuk menjaga kedaulatan NKRI.
Konteks Historis dan Hukum
Penting untuk memahami konteks historis Papua dalam kerangka NKRI. Penolakan terhadap NFRPB didasarkan pada hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, yang telah diakui secara internasional. Pepera ini dianggap sebagai legitimasi integrasi Papua ke dalam Indonesia.
Klaim sepihak oleh kelompok separatis seperti OPM dan NFRPB bertentangan dengan hasil Pepera dan prinsip-prinsip hukum internasional. Indonesia berpegang teguh pada kedaulatannya atas Papua dan menolak segala upaya yang bertujuan untuk memecah belah negara.
Wakapolda Papua Barat Daya, Kombes Pol Semmy Ronny Thaba, menambahkan bahwa pihak kepolisian sedang mendalami dugaan tindak pidana makar yang dilakukan oleh NFRPB. Ancaman hukuman untuk tindak pidana makar bisa mencapai 12 tahun penjara. “Kami pikir ini jadi satu-satunya upaya yang akan kita lakukan untuk menegaskan bagaimana negara hadir memberikan tindakan yang tegas…,” tegasnya.
Respons Masyarakat dan Strategi Pemerintah
Reaksi masyarakat terhadap gerakan NFRPB beragam, tetapi secara umum terdapat dukungan luas terhadap keutuhan NKRI. Pemerintah perlu membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat untuk mencegah penyebaran propaganda separatis dan memastikan informasi yang akurat diterima oleh publik.
Selain penegakan hukum, strategi pemerintah untuk menghadapi gerakan separatis juga harus melibatkan pendekatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Papua. Pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang merata dapat mengurangi potensi dukungan terhadap gerakan separatis yang seringkali memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat.
Penting juga untuk mendorong dialog dan rekonsiliasi antara kelompok yang berbeda di Papua. Menciptakan rasa keadilan dan kesetaraan dapat mengurangi sentimen separatis dan memperkuat integrasi nasional.
Langkah-langkah ini perlu dikoordinasikan secara efektif antara pemerintah pusat dan daerah, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk tokoh masyarakat, agama, dan adat. Dengan demikian, upaya untuk menjaga keutuhan NKRI dapat dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, penolakan terhadap NFRPB merupakan langkah penting untuk menjaga keutuhan NKRI. Namun, penanganan masalah ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif, yang melibatkan penegakan hukum, pembangunan, dan dialog, untuk memastikan Papua tetap menjadi bagian integral dari Indonesia.