Kasus dugaan eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) dan keterkaitannya dengan Taman Safari Indonesia (TSI) terus menjadi sorotan publik. Delapan mantan pekerja telah melaporkan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang mereka alami sejak era 1970-an. Peristiwa ini telah dibahas di Komisi III DPR RI pada Senin, 21 April 2025.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Safarudin, mendesak adanya penyelesaian yang adil. Menurutnya, permasalahan ini bukan hanya soal upah layak atau kompensasi asuransi, melainkan juga tentang martabat manusia. “Mencari uang, bisnis, tapi tidak memperhatikan hak asasi manusia, untuk apa?”, tegas Safarudin dalam keterangannya pada Selasa, 22 April 2025.
Safarudin menekankan pentingnya transparansi mengenai motif awal OCI dalam merekrut anak-anak sebagai pemain sirkus. Banyak iming-iming yang diberikan, seperti pendidikan, namun kenyataannya justru berbeda. “Ini harus dijelaskan secara transparan,” lanjutnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menyarankan mediasi antara mantan pemain sirkus dan pengelola OCI. “Baik pengelola dan para pemain mantan sirkus itu duduk sama-sama untuk mencari titik tengah,” saran Sahroni kepada wartawan di Jakarta, Senin (21/4/2025). Ia memberikan tenggat waktu tujuh hari untuk penyelesaian mediasi. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka proses hukum akan dilanjutkan.
Masalah Kedaluwarsa dan Harapan Keadilan
Meskipun kasus ini sudah berlangsung selama 35 tahun, dan secara hukum mungkin sudah kedaluwarsa, para mantan pemain sirkus masih berharap keadilan. Mereka menginginkan pertanggungjawaban atas dugaan eksploitasi dan penganiayaan yang mereka alami. Sahroni mengakui aspek hukum ini, “Kalau ngomong dalam aturan perdagangan hukum, ini udah kedaluwarsa. Nggak bisa ini barang,” katanya. Namun, ia memahami harapan para pelapor untuk mendapatkan keadilan atas eksploitasi yang mereka alami.
Perlu dipertimbangkan bahwa “kedaluwarsa” hanya satu aspek dalam konteks hukum. Aspek moral dan etika perlu dipertimbangkan secara serius. Meskipun tuntutan hukum mungkin sulit dijalankan, usaha untuk mendapatkan keadilan dan kompensasi atas kerugian yang diderita selama puluhan tahun tetap sah dan patut didukung.
Tanggapan Pihak OCI
Pihak OCI mengaku belum dapat memberikan kepastian mengenai mediasi. Mereka menunggu kembalinya kuasa hukum mereka, Hamdan Zoelva, dari Tanah Suci. “Jadi kita akan mengupayakan mengikuti saran beliau. Tapi kita masih menunggu Pak Hamdan Zoelva ketika beliau kembali dari luar,” jelas Ricardo Kumontahas, salah satu penasehat hukum OCI, di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Ricardo menjelaskan bahwa Hamdan Zoelva memiliki peran penting dalam kasus ini karena terlibat langsung dalam proses komunikasi dengan Komnas HAM pada tahun 1997. Kehadiran dan keterangan Hamdan Zoelva sangat krusial untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai kasus ini. Menunggu kepulangannya menjadi strategi pihak OCI untuk sementara.
Kesimpulannya, kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan HAM dan pertanggungjawaban atas pelanggaran yang terjadi, terlepas dari lamanya waktu yang telah berlalu. Meskipun terdapat kendala hukum, upaya mediasi dan pencarian keadilan bagi para korban tetap perlu dilakukan. Transparansi dari pihak OCI juga sangat penting untuk mengungkap seluruh fakta dan memberikan keadilan yang seadil-adilnya.