Kasus gugatan ijazah Presiden Joko Widodo yang dilayangkan oleh tim hukum TIPU UGM, kini berbalik arah dan menyoroti salah satu penggugatnya, Zaenal Mustofa. Ia kini ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen akademik. Ironisnya, gugatan yang bermaksud menyingkap ketidakbenaran justru membuka potensi pelanggaran serupa dari pihak penggugat.
Awalnya, gugatan terhadap keabsahan ijazah Jokowi menarik perhatian publik luas. Tim TIPU UGM menuduh adanya ketidaksesuaian data akademik, mengindikasikan potensi pemalsuan. Persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta menjadi sorotan media dan perbincangan publik. Namun, fokus publik bergeser ketika kredibilitas penggugat, terutama Zaenal Mustofa, dipertanyakan.
Penetapan Zaenal Mustofa sebagai Tersangka
Pada 18 April 2025, Polres Sukoharjo menetapkan Zaenal Mustofa sebagai tersangka pemalsuan dokumen akademik. Penetapan ini berdasarkan laporan Asri Purwanti, rekan sesama pengacara, yang diajukan pada 16 Oktober 2023. Kapolres Sukoharjo, AKBP Anggaito Hadi Prabowo, menjelaskan Zaenal diduga membuat surat palsu yang seolah-olah ia adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Dugaan pemalsuan ini terungkap karena Zaenal diduga menggunakan NIM dan transkrip milik Anton Widjanarko, mahasiswa UMS, untuk mendaftar kuliah di Universitas Surakarta (Unsa). Data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) dan Biro Administrasi Akademik UMS tidak menemukan nama Zaenal sebagai pemilik sah NIM tersebut.
Bukti-bukti yang Diperoleh Polisi
Polisi telah mengamankan sejumlah bukti fisik dan digital, termasuk surat pindah kuliah, transkrip nilai, dan fotokopi ijazah atas nama Zaenal Mustofa. Dokumen-dokumen ini akan menjadi dasar penyidikan lebih lanjut, termasuk melibatkan ahli pendidikan tinggi untuk menguji keabsahannya. SPDP telah dikirim ke Kejaksaan Negeri Sukoharjo.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Zaenal Mustofa mundur dari tim TIPU UGM untuk fokus pada kasusnya sendiri. Ia menyatakan pengunduran diri ini dalam sidang perdana gugatan ijazah Jokowi pada 24 April 2025. Meskipun demikian, gugatan terhadap Jokowi tetap dilanjutkan oleh tim TIPU UGM.
Gugatan Ijazah Jokowi Berlanjut
Gugatan bernomor 99/Pdt.G/2025/PN Skt di Pengadilan Negeri Surakarta tetap berlanjut meskipun Zaenal Mustofa telah mundur. Tim TIPU UGM akan fokus pada dugaan kejanggalan akademik, seperti perbedaan data pada ijazah SMA Jokowi dan dokumen pendukung lainnya. Tergugat dalam kasus ini meliputi Presiden Joko Widodo, KPU Kota Solo, SMAN 6 Solo, dan UGM.
Zaenal Mustofa membantah semua tuduhan dan mengklaim telah menjadi mahasiswa Universitas Surakarta sejak 2008. Ia menilai ada kejanggalan dalam kronologi tuduhan dan menyerahkan pembelaannya kepada kuasa hukum. Ia mempertanyakan mengapa pelaporan baru muncul setelah ia terdaftar sebagai mahasiswa.
Implikasi Hukum, Sosial, dan Politik
Kasus ini menimbulkan paradoks hukum dan moral. Pengacara yang menggugat keabsahan ijazah Presiden dengan alasan integritas akademik, justru diduga melanggar prinsip yang sama. Kasus ini bukan hanya soal hukum pidana, tetapi juga mencoreng kredibilitas gerakan sipil yang menuntut transparansi.
Karena Zaenal Mustofa pernah menjadi calon legislatif dalam Pemilu 2024, kasus ini memiliki implikasi politik. Penetapan tersangka bisa dimanfaatkan sebagai amunisi politik. Namun, di luar konflik elite, masyarakat didorong untuk lebih kritis terhadap legalitas akademik para pemimpin dan tokoh masyarakat.
Perlunya Pengawasan Akademik yang Lebih Ketat
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan sistem akademik di perguruan tinggi. Integritas dalam pelaporan data mahasiswa, pemrosesan NIM, dan penerbitan ijazah perlu ditingkatkan. Dirjen Dikti perlu berperan lebih aktif dalam verifikasi silang, terutama pada kasus yang melibatkan aktor publik. Audit data perguruan tinggi menjadi hal yang krusial.
Kesimpulannya, kasus Zaenal Mustofa adalah pengingat penting bahwa integritas hukum dan akademik tidak boleh selektif. Gugatan hukum adalah hak, tetapi harus dijalankan dengan kejujuran dan akuntabilitas. Jika tidak, idealisme bisa berubah menjadi ironi yang memalukan. Kasus ini juga mengungkap celah dalam sistem verifikasi akademik yang perlu diperbaiki untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.