Sidang sengketa hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kepulauan Talaud di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (25/4/2025) mengungkap dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Calon Bupati nomor urut 3, Welly Titah. Tuduhan ini disampaikan oleh kuasa hukum pasangan calon nomor urut 2, Irwan Hasan-Haroni Mamentiwalo, yakni Handri Piter Poae.
Poae mengungkapkan kejanggalan dalam riwayat pendidikan Welly Titah. Ia disebut berpindah-pindah sekolah, menempuh kelas 10 dan 11 di SMA Eben Haezer Manado, kemudian kelas 12 di SMA Swasta Lirung. Namun, ijazah SMA yang dimilikinya justru diterbitkan oleh SMA Negeri 1 Beo, sebuah fakta yang dianggap mencurigakan.
Lebih lanjut, Poae menjelaskan bahwa berdasarkan keterangan dari beberapa pihak dan alumni SMA Negeri 1 Beo, Welly Titah tidak pernah bersekolah atau mengikuti ujian akhir di sekolah tersebut pada tahun 1984, tahun tertera pada ijazahnya. Diduga kuat, Welly Titah menggunakan fotokopi ijazah tanpa memiliki dokumen asli.
Selain dugaan ijazah palsu, Poae juga menuding adanya praktik politik uang yang dilakukan di Desa Bulude dan Bulude Selatan oleh kubu Calon Bupati nomor urut 3. Besarnya sumbangan kampanye dari paslon nomor urut 3 ke Gereja Masehi Injili di Talaud, mencapai Rp 250 juta, juga menjadi sorotan dan dijadikan bukti pendukung.
Dugaan Pelanggaran dan Permohonan Paslon Nomor Urut 2
Bukti berupa printout screenshot percakapan dalam grup majelis jemaat Nazari digunakan untuk memperkuat tuduhan tersebut. Poae menekankan bahwa bukti-bukti ini menunjukkan adanya pelanggaran yang signifikan dalam proses Pilkada Kepulauan Talaud.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, pasangan calon nomor urut 2, Irwan Hasan-Haroni Mamentiwalo, meminta MK membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kepulauan Talaud yang memenangkan pasangan calon nomor urut 3. Mereka juga meminta diskualifikasi Welly Titah dan penetapan pasangan calon nomor urut 2 sebagai pemenang Pilkada.
Analisis dan Implikasi
Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan transparansi dalam proses pemilihan umum. Dugaan penggunaan ijazah palsu dan praktik politik uang merupakan pelanggaran serius yang dapat merusak kredibilitas sistem demokrasi. Proses hukum di MK diharapkan dapat mengungkap kebenaran dan memberikan putusan yang adil.
Pentingnya verifikasi data calon pemimpin menjadi sorotan. Lembaga terkait perlu memperketat proses verifikasi dokumen calon, termasuk ijazah dan riwayat pendidikan, untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Transparansi dalam pendanaan kampanye juga harus terus ditingkatkan untuk mencegah praktik politik uang.
Putusan MK atas kasus ini akan berdampak signifikan bagi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia. Putusan yang tegas dan transparan diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya pelanggaran serupa pada pemilihan-pemilihan selanjutnya.
Kasus ini juga mengingatkan pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi proses demokrasi. Partisipasi aktif masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran dapat membantu menjaga integritas pemilu dan memastikan pemilihan pemimpin yang bersih dan bertanggung jawab.