Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp 71 triliun untuk tahun 2025, menargetkan 83 juta penerima manfaat. Di atas kertas, program ini merupakan wujud negara hadir untuk anak-anak, ibu hamil, dan balita. Namun, realitanya jauh dari sempurna.
Kritik muncul bahkan sebelum program benar-benar berjalan. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas menjadi sorotan utama. Publik mempertanyakan pengelolaan anggaran yang fantastis tersebut, mekanisme pengawasan, dan tolok ukur keberhasilan yang jelas.
Para ekonom telah memperingatkan potensi MBG menjadi ladang korupsi jika tidak dikawal ketat. Distribusi dana yang besar ke Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan nilai hingga Rp 10 miliar per unit meningkatkan risiko penyelewengan.
Kekhawatiran akan Pengulangan Kesalahan Masa Lalu
Pengalaman masa lalu dengan program makan gratis yang seringkali berujung pada proyek fiktif, pengadaan siluman, dan makanan basi menimbulkan kekhawatiran serupa pada MBG. Pelajaran berharga dari kegagalan sebelumnya tampaknya diabaikan.
Banyak yang mempertanyakan persentase anggaran yang benar-benar sampai kepada penerima manfaat. Akankah sebagian besar dana tersedot oleh birokrasi dan praktik koruptif, sehingga tujuan utama program ini gagal tercapai?
Ketidakjelasan mekanisme distribusi dana juga menjadi masalah. Beberapa kepala daerah mengaku belum memahami alur distribusi, namun dipaksa untuk mendukung penuh program ini. Hal ini mencerminkan sistem birokrasi yang tidak efisien dan cenderung reaktif.
MBG: Simbol atau Kebijakan Publik yang Matang?
MBG, dalam konteks politik, lebih terlihat sebagai simbol daripada kebijakan publik yang matang. Program ini muncul di tengah tekanan publik pasca-Pemilu, seakan menjadi tameng moral bagi pemerintah.
Namun, simbolisasi semata tidak cukup. Indonesia telah cukup kenyang dengan kebijakan kosmetik yang hanya berfokus pada citra, tanpa memperhatikan implementasi dan dampaknya di lapangan.
Seharusnya, program sebesar ini diawali dengan *pilot project* yang terukur, data gizi yang akurat, dan evaluasi sistemik. Namun, pemerintah justru memprioritaskan seremoni dan anggaran besar sebelum sistemnya siap dan teruji.
Ancaman terhadap Kredibilitas Pemerintahan
Kegagalan MBG akan berdampak besar terhadap kredibilitas pemerintah. Kepercayaan publik terhadap program-program pemerintah lainnya dapat tergerus jika masalah transparansi dan akuntabilitas tidak segera diatasi.
Lebih dari sekadar program makan gratis, MBG menjadi cerminan kualitas tata kelola pemerintahan. Keberhasilannya bergantung pada komitmen pemerintah untuk memastikan dana digunakan secara efektif dan tepat sasaran, serta pengawasan yang ketat dari berbagai pihak.
Adanya indikasi makanan basi yang menyebabkan siswa muntah di Sulawesi Tenggara semakin menguatkan kekhawatiran akan buruknya kualitas pengawasan dan implementasi program ini. Pemerintah perlu segera bertindak tegas untuk mencegah kejadian serupa terulang di daerah lain.
Selain itu, keterlibatan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, dalam pengawasan program ini sangat penting. Transparansi informasi dan akses publik terhadap data terkait MBG akan membantu memastikan akuntabilitas dan mencegah penyimpangan.
Kesimpulannya, MBG memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, namun keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk menegakkan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat. Kegagalan dalam hal ini akan berdampak buruk bagi kredibilitas pemerintah dan kesejahteraan anak-anak Indonesia.