Berita  

Mungkinkah Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional: Sebuah Debat Nasional

Mediakabar.com | Portal Berita Terfaktual

Usulan kontroversial menjadikan Presiden kedua Indonesia, Soeharto, sebagai pahlawan nasional telah menimbulkan perdebatan sengit di masyarakat. Nama Soeharto, yang diusulkan oleh Provinsi Jawa Tengah, tercantum dalam daftar 10 usulan Kementerian Sosial untuk gelar pahlawan nasional tahun 2025. Ia masuk nominasi bersama tokoh-tokoh lain seperti Gus Dur, Bisri Sansuri, Idrus bin Salim Al-Jufri, Teuku Abdul Hamid Azwar, Abbas Abdul Jamil, Anak Agung Gede Anom Mudita, Deman Tende, Midian Sirait, dan Yusuf Hasim.

Kontroversi ini muncul karena masa pemerintahan Orde Baru Soeharto, yang ditandai oleh kekuasaan ABRI (kini TNI) dan Golkar, juga diwarnai dengan pelanggaran HAM berat dan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Reformasi 1998, yang menggulingkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, lahir dari tuntutan untuk menghapus praktik-praktik tersebut.

Sejarawan UGM, Sri Margana, menekankan bahwa definisi pahlawan nasional dalam undang-undang mensyaratkan seseorang bebas dari cacat moral dan politik sepanjang hidupnya. Riset-riset sejarah politik Orde Baru menunjukkan banyak pelanggaran HAM berat di masa pemerintahan Soeharto, yang berakhir dengan skandal dan “people power”. Oleh karena itu, menurut Sri Margana, perlu dipertanyakan kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Pendapat serupa disampaikan oleh sejarawan Andi Achdian dari Universitas Nasional. Ia mengakui keberhasilan pembangunan ekonomi di masa Soeharto, tetapi menekankan keterlibatan rezimnya dalam pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara. “Maka dengan standar itu saja kita sudah bisa bilang tidak mungkin lah seorang pahlawan punya cela,” tegas Andi Achdian.

Andi Achdian bahkan melihat pengusulan Soeharto sebagai sebuah “test the water”, untuk mengukur sejauh mana publik telah melupakan kejahatan HAM di masa Orde Baru. Ia menekankan pentingnya menjaga ingatan kolektif tentang pelanggaran HAM masa lalu.

‘Dosa’ dan Jasa Soeharto: Pertimbangan yang Kompleks

Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, mewakili banyak pihak yang secara konsisten menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Imparsial dan Koalisi Masyarakat Sipil telah berulang kali menyatakan penolakan mereka. Ardi berpendapat bahwa usulan tersebut melukai rasa keadilan para korban pelanggaran HAM di masa Soeharto.

Ardi mencontohkan sejumlah kasus pelanggaran HAM di era Soeharto, termasuk tragedi 1965, peristiwa Tanjung Priok, tragedi Talangsari Lampung, penembakan misterius (petrus), kasus Marsinah, konflik di Aceh dan Papua, penculikan aktivis 1997-98, dan peristiwa Semanggi I dan II. Para korban, menurutnya, hingga kini belum mendapatkan keadilan.

Ardi menilai “dosa” Soeharto jauh lebih besar daripada jasanya. Ia menganggap Soeharto sebagai simbol kepemimpinan yang korup, militeristik, dan otoriter. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, menurutnya, akan merusak citra Indonesia di mata internasional.

Lebih lanjut, Ardi mempertanyakan legitimasi Gerakan Reformasi 1998 jika Soeharto kemudian dinobatkan sebagai pahlawan nasional. “Apakah eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 mau disebut pengkhianat atau penjahat karena pemimpin yang mereka tumbangkan kemudian disebut sebagai pahlawan?” tanyanya.

Gambar infografis tentang berbagai istilah yang digunakan untuk membandingkan masa pemerintahan Soeharto.

Dugaan Industrialiasi Gelar Pahlawan Nasional

Andi Achdian turut mengkritik proses pengusulan gelar pahlawan nasional di Indonesia saat ini. Ia menilai proses tersebut telah menjadi semacam “industri”, dengan biaya yang dikeluarkan dari tingkat kabupaten/kota hingga ke tingkat nasional, termasuk seminar dan publikasi. Ia menduga adanya pihak-pihak yang mengeluarkan biaya untuk mengusulkan Soeharto.

Andi Achdian mendukung usulan moratorium pemberian gelar pahlawan nasional untuk menghentikan praktik yang dianggapnya sebagai “bisnis”.

Menanggapi polemik ini, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menjelaskan proses pengusulan dimulai dari masyarakat, melalui seminar dan melibatkan sejarawan serta tokoh setempat. Usulan tersebut kemudian naik ke gubernur dan akhirnya ke Kemensos, yang membentuk tim untuk memproses usulan tersebut.

Juru Bicara Istana, Prasetyo Hadi, menyatakan tidak ada yang salah dengan usulan tersebut, menganggap wajar jika mantan kepala negara diusulkan menjadi pahlawan nasional. Ia meminta publik untuk melihat prestasi Soeharto selain kekurangannya.

Partai Golkar, yang memiliki kedekatan sejarah dengan Soeharto, mengakui telah mengusulkan Presiden kedua RI itu menjadi pahlawan nasional melalui MPR Fraksi Golkar, setelah pembahasan internal bersama Satkar Ulama Indonesia.

Fraksi Golkar di MPR juga berperan dalam mencabut nama Soeharto dari TAP MPR II/1998 tentang pemberantasan KKN, yang sebelumnya secara eksplisit menyebutkan nama Soeharto. Keputusan ini diambil menjelang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024.

Kesimpulannya, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan isu yang sangat kompleks dan memicu perdebatan yang luas di tengah masyarakat. Pertimbangan jasa dan dosa Soeharto, serta proses pengusulan gelar pahlawan nasional itu sendiri, membutuhkan evaluasi dan transparansi yang lebih mendalam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *