Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada tiga korban dalam kasus dugaan pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), AKBP Fajar Lukman Widyadharma Sumaatmaja. Keputusan ini diambil setelah sidang Mahkamah Pimpinan LPSK pada 9 April 2025. Perlindungan yang diberikan meliputi pemenuhan hak prosedural, fasilitas penghitungan restitusi, dan rehabilitasi psikologis, terutama bagi korban berusia 6 tahun.
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menjelaskan bahwa sebelum memberikan perlindungan, LPSK telah melakukan investigasi mendalam. Mereka berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) NTT dan Himpunan Psikolog NTT untuk menilai tingkat ancaman dan kondisi psikologis para korban. Proses ini penting untuk memastikan perlindungan yang diberikan tepat dan efektif.
Untuk memastikan hak-hak prosedural korban terpenuhi, LPSK memberikan pendampingan selama proses peradilan. Kerja sama dilakukan dengan berbagai pihak, termasuk Sahabat Saksi dan Korban NTT, LBH APIK-NTT, pendamping rehabilitasi sosial Kementerian Sosial NTT, dan UPTD PPA NTT. Pendampingan ini bertujuan untuk memastikan suara korban didengar dan kepentingan terbaik mereka diutamakan.
Selain fokus pada perlindungan korban, LPSK juga menekankan pentingnya penanganan kasus ini terkait dengan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) untuk eksploitasi seksual. Nurherwati menyatakan bahwa kasus ini melibatkan eksploitasi seksual anak perempuan melalui media sosial. Oleh karena itu, pelaku dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Perlindungan Anak, TPPO, dan Informasi dan Transaksi Elektronik.
Perhatian Terhadap Kerentanan Anak dan Akses Digital
Kondisi rentan anak-anak menjadi perhatian serius. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka harus memastikan tumbuh kembang optimal secara fisik, mental, spiritual, dan sosial. Nurherwati menyoroti akses anak-anak terhadap aplikasi digital yang perlu diawasi ketat. Platform penyedia aplikasi juga perlu bertanggung jawab atas potensi TPPO melalui eksploitasi seksual yang mengancam tumbuh kembang anak.
LPSK berharap pemerintah pusat, daerah, dan aparat penegak hukum memberikan perhatian khusus terhadap penanganan TPPO, terutama eksploitasi seksual di NTT. Edukasi kesehatan reproduksi juga dianggap penting. Kasus ini menjadi pelajaran berharga agar hak-hak anak tidak diabaikan karena faktor ekonomi, masalah rumah tangga, atau gaya hidup. Pemerintah juga perlu menindak tegas aplikasi digital yang digunakan untuk eksploitasi seksual.
Kronologi Kasus dan Perkembangan Terbaru
Sebelumnya, Polri menetapkan AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja sebagai tersangka kasus asusila dan penyalahgunaan narkoba. Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, menyatakan bahwa AKBP Fajar diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur (berusia 6, 13, dan 16 tahun) dan seorang dewasa (20 tahun). Ia juga diduga merekam aksi tersebut dan mengunggahnya ke situs pornografi anak di darkweb.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan kekerasan. Peran LPSK dalam memberikan perlindungan dan pendampingan kepada korban sangat krusial. Selain itu, upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelaku dan platform digital yang memfasilitasi kejahatan tersebut juga sangat penting untuk melindungi anak-anak di masa depan.
Kesimpulannya, kasus ini menunjukkan betapa pentingnya perlindungan anak, penanganan kasus TPPO, dan pengawasan terhadap platform digital yang berpotensi untuk digunakan dalam kejahatan seksual. Perlindungan korban dan penuntutan pelaku harus berjalan beriringan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.