Indonesia digemparkan serangkaian kasus yang melibatkan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) pada awal tahun 2025. Kejadian ini mencoreng citra dunia kedokteran dan menimbulkan kekhawatiran publik. Dari kekerasan seksual hingga perundungan, kasus-kasus ini menuntut evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.
Kasus pertama yang mengemuka adalah kekerasan seksual oleh seorang peserta PPDS Anestesiologi Universitas Padjadjaran terhadap anak pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Pelaku, PAP, menggunakan sisa obat bius untuk membius korban berulang kali. Kejadian ini diikuti oleh kasus lain, seperti peserta PPDS Universitas Indonesia yang merekam tetangganya tanpa izin, dan dugaan penendangan testis seorang peserta PPDS Universitas Sriwijaya oleh konsulennya di Rumah Sakit M Hoesin Palembang. Kementerian Kesehatan telah mengkonfirmasi dan menindaklanjuti laporan-laporan tersebut.
Kasus-kasus tersebut merupakan bagian dari serangkaian isu serupa yang terjadi sejak 2024, termasuk perundungan dan pungutan liar. Bahkan, kasus bunuh diri dr. Aulia Risma Lestari, peserta PPDS Universitas Diponegoro akibat perundungan, turut menyoroti dampak buruk lingkungan pendidikan kedokteran yang tidak sehat. Laporan-laporan lainnya juga mencakup kasus dokter kandungan cabul dari Garut dan dugaan pelecehan seksual oleh dokter di Malang.
Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Murti Utami melaporkan telah menerima 2.621 laporan terkait perundungan sejak dibukanya akses layanan pelaporan pada 2024. Dari jumlah tersebut, 620 laporan masuk kategori perundungan, dengan 363 kasus terjadi di RS milik Kementerian Kesehatan dan 257 kasus di luar RS vertikal. Meskipun tidak ada laporan pemerkosaan, terdapat 3 laporan pelecehan seksual oleh peserta PPDS yang sedang ditindaklanjuti.
Urgensi Evaluasi Sistem Pendidikan Kedokteran
Kasus-kasus ini menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan dokter spesialis. Aspek yang perlu diperhatikan meliputi akses obat anestesi, status ambigu peserta PPDS yang belajar sambil bekerja, kejelasan prosedur operasional standar (SOP), dan pemantauan kesehatan jiwa peserta secara berkelanjutan.
Dr. Puspita Wijayanti, pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga, menekankan pentingnya pemantauan kejiwaan berkelanjutan. Tes psikologi saat rekrutmen tidak cukup untuk memprediksi kondisi psikis di masa mendatang, terutama dengan beban emosional, jam kerja panjang, dan kompetisi yang tinggi. Tekanan yang tidak terkelola dapat berujung pada burnout, disosiasi, bahkan kekerasan.
Oleh karena itu, evaluasi psikologis berkala, misalnya setiap 6 bulan atau setiap transisi rotasi besar, perlu diintegrasikan sebagai bagian dari kurikulum tersembunyi pendidikan dokter spesialis. “perlu ada sejumlah langkah, seperti evaluasi psikologis berkala sebagai bagian dari kurikulum tersembunyi pendidikan dokter spesialis, dilakukan setiap 6 bulan atau tiap transisi rotasi besar.“
Status Ambigu Peserta PPDS dan Beban Kerja
Status peserta PPDS yang ambigu perlu dikaji ulang. Secara hukum, mereka adalah peserta pendidikan klinik, namun dalam praktiknya bekerja seperti dokter definitif dengan wewenang klinis dan akses data pasien. Kurangnya pengawasan yang ketat menciptakan area abu-abu mengenai tanggung jawab klinis.
Ketua Umum PB IDI, Slamet Budiarto, menyarankan pembatasan waktu kerja maksimal 40-50 jam per minggu. SOP yang jelas terkait penanganan pemeriksaan lab, bius, dan lainnya juga diperlukan, serta larangan memeriksa pasien sendirian. AIPKI pun mendorong penguatan sistem etika dan pengawasan yang ketat di rumah sakit pendidikan.
Menata Mental dan Kesejahteraan Peserta PPDS
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, menyatakan bahwa kasus-kasus ini memerlukan perbaikan sistematis, terutama dalam mengatasi beban mental dan finansial peserta PPDS. Kemendikbudristek dan Kementerian Kesehatan membentuk komite bersama untuk menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan di pendidikan kedokteran.
Kementerian Kesehatan berinisiatif melakukan pengecekan kesehatan mental berkala (enam bulan sekali). Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga meminta direktur rumah sakit pendidikan untuk rutin bertemu peserta PPDS dan memberikan intervensi jika ada masalah. Bahkan, Menkes berkomitmen untuk meluangkan waktu bertemu dengan peserta PPDS untuk memastikan kesejahteraan mereka. “Bahkan, dia mengungkapkan komitmennya untuk meluangkan waktunya guna bertemu dengan para peserta dan memastikan kesejahteraan mental dan fisik mereka.“
Sebagai upaya mengurangi beban finansial, Kementerian Kesehatan mempertimbangkan pemberian Surat Izin Praktik (SIP) bagi peserta PPDS agar dapat bekerja sebagai dokter umum. Meskipun jam kerja maksimal 80 jam per minggu ditetapkan untuk mempercepat proses pendidikan, Menkes menegaskan pentingnya istirahat yang cukup, dengan libur di hari berikutnya jika terjadi lembur.
Pengawasan juga ditingkatkan untuk memastikan pengajaran oleh konsulen, bukan senior, memperbaiki SOP, mencegah penyalahgunaan ruangan kosong di RS, dan memastikan spesimen lab tidak lagi dibebankan pada peserta PPDS.
Kementerian Kesehatan juga menindaklanjuti kasus perundungan yang berujung pada kematian dr. Aulia Risma Lestari di Semarang, termasuk menunda sertifikat kompetensi tersangka ZYA. Sebagai langkah evaluasi, tiga program studi dokter spesialis telah dibekukan sementara.
Perbaikan sistem pendidikan kedokteran sangat mendesak. Indonesia perlu menyelamatkan potensi para calon dokter spesialis agar tidak tergerus oleh masalah yang sebenarnya dapat dicegah. “Orang bijak berkata, ‘waktu terbaik pertama untuk memulai adalah kemarin, dan waktu terbaik kedua untuk memulai adalah sekarang.’ Dokter sering disebut-sebut sebagai penyelamat jiwa, dan sekarang adalah waktu yang tepat bagi bangsa untuk menyelamatkan jiwa para calon dokter spesialis ini, sebelum bakat dan niat luhur mereka hangus oleh sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah.“