Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyatakan bahwa pembakaran tiga mobil polisi di Depok merupakan tindakan perorangan, bukan tindakan terorganisir dari suatu organisasi masyarakat (ormas).
Ia menekankan agar penanganan hukum difokuskan pada para pelaku individu, bukan pada ormas yang mungkin mereka ikuti. Tindakan hukum yang diterapkan harus bersifat perorangan, bukan ditujukan pada kelembagaan.
Dedi Mulyadi menyebut aksi tersebut sebagai premanisme dan mendesak agar penegakan hukum fokus pada tindakan kriminalnya, bukan pada afiliasi organisasi para pelaku. Hal ini penting agar tidak terjadi generalisasi yang merugikan ormas secara keseluruhan.
Kronologi Pembakaran Mobil Polisi di Depok
Kejadian bermula saat polisi menangkap seorang pelaku penganiayaan dan kepemilikan senjata api berinisial TS di kawasan Harjamukti, Cimanggis, Depok pada Jumat dini hari, 18 April 2025. Saat polisi menunjukkan surat perintah penangkapan, pelaku melakukan perlawanan.
Perlawanan tersebut memicu keributan yang menarik perhatian warga sekitar. Warga kemudian menyerang petugas. Untuk menghindari eskalasi konflik, petugas membawa pelaku ke mobil polisi.
Saat hendak menuju Polres Metro Depok, empat kendaraan polisi dikejar oleh massa. Satu mobil berhasil tiba di kantor polisi, sementara tiga lainnya tertahan dan dirusak. Satu di antaranya dibakar.
Sembilan orang telah ditetapkan sebagai tersangka, lima di antaranya telah ditahan, sementara empat lainnya masih buron. Mayoritas tersangka merupakan anggota salah satu ormas.
Tanggapan Dedi Mulyadi dan Imbauan kepada Ormas
Dedi Mulyadi menegaskan kembali perlunya penanganan yang terfokus pada individu pelaku pembakaran mobil polisi. Ia tidak ingin kasus ini menjadi preseden buruk yang berdampak negatif terhadap ormas secara umum.
Lebih lanjut, Dedi Mulyadi berencana kembali ke Depok untuk membahas status tanah tempat kejadian perkara (TKP). Ia juga menghimbau kepada warga setempat untuk tidak memperkeruh suasana.
Ia menekankan pentingnya peran pimpinan ormas dalam mencegah aksi premanisme yang dilakukan oleh anggotanya. Pimpinan ormas harus berani mengambil tindakan tegas, seperti pemecatan, terhadap anggota yang terlibat tindak pidana.
Hal ini, menurut Dedi, penting untuk menjaga citra ormas dan memastikan agar visi dan misi organisasi selaras dengan aturan hukum yang berlaku. Pembersihan internal dari ormas sangat penting untuk mencegah kejadian serupa terjadi di masa depan.
Analisis dan Implikasi Kejadian
Insiden ini menyoroti pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap aksi premanisme. Kejadian ini juga menggarisbawahi pentingnya peran serta ormas dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Peran serta ormas dalam hal ini sangat krusial. Mereka harus memastikan bahwa anggotanya patuh pada hukum dan tidak terlibat dalam aksi kekerasan atau kriminalitas. Kegagalan dalam hal ini bisa berujung pada konsekuensi hukum yang berat bagi ormas itu sendiri.
Kejadian ini juga menjadi pengingat akan pentingnya komunikasi yang efektif antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Respon cepat dan terukur dari aparat sangat diperlukan untuk mencegah eskalasi konflik dan menjaga stabilitas keamanan.
Diharapkan dengan adanya penegakan hukum yang adil dan tegas, kejadian serupa tidak terulang kembali. Kerja sama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan ormas sangatlah penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif.